Senin, 04 Agustus 2014

MIMPI ANAK BANGSA

MIMPI ANAK BANGSA
Di tengah lebatnya hujan dalam sebuah jalanan tanpa alas aspal, seorang anak kecil berlari menyapu bersih  keberadaan hujan yang ditemani amuk amarah sang petir. Anak itu mengenakan seragam sekolah yang sudah kusam dan sepasang sepatu yang sudah tak layak digunakan dengan memeluk erat buku tepat di dadanya, berharap buku itu tidak diselimuti air hujan.  Dia ingin segera tiba di rumah tanpa merusak buku yang menjadi alat penghubung antara syaraf dan hatinya. Buku tanpa sebuah tas sangat mudah hancur dilalap air.
Selangkah lagi anak itu tiba di sebuah rumah sederhana yang beralaskan tanah. Buku yang dia lindungi berhasil tiba di rumah dengan  sapuan air hujan. Hati kecil mulai berdialog  hingga mengganggu fikirannnya. Air mata anak itu akhirnya  tumpah, dia merasakan sesuatu yang tampak sudah lama dia pendam. Rasa kesal semakin menghantui ketika seorang paruh baya menghampirinya.
          “Rasyid, ada apa denganmu nak?” Tanya ibu anak itu saat mendapatkan anaknya berlinangan air mata.
          Anak yang ternyata bernama Rasyid itu mengelus-elus wajah menjawab pertanyaan paruh baya itu.
          “maa,, aku lelah jika setiap hari harus menelusuri jalan yang becek dengan sepatu yang robek dan melindungi buku jika hujan turun. Aku butuh sebuah tas dan sepatu yang layak maa” jawab Rasyid hingga air matanya semakin deras mengalir di pipi. Ibunya tak mampu menyusun kata-kata yang tepat untuk meluluhkan hati anaknya yang masih berusia delapan tahun. Dia hanya bisa memandang ibah berharap Rasyid mengerti dengan keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan tanpa seorang ayah yang biasanya menjadi kepala keluarga dalam sebuah rumah.
          Rasyid menunggu jawaban dari paru baya itu tapi tak ada respon. Dia akhirnya memasuki ruang kecil tempat dia merebahkan tubuh dan berlalu bersama air mata yang masih menempel di pipi menuju alam mimpi.
          Angin membelai wajah Rasyid yang tertidur pulas, hingga akhirnya dia sadarkan diri. Rasyid mendapati ibunya sedang memilih-milih kayu yang utuh untuk dijual sambil menunggu kehadiran dua anaknya Arase dan Terang yang belum juga tiba di rumah. Kedua anaknya itu masih bekerja di peternakan sapi milik saudagar kaya di desa Tolenceng daerah Watampone. Ibu Bunga yang hanya bekerja sebagai pencari kayu bakar membuat kedua anaknya yang hanya berhasil menempuh bangku SD bekerja membantu perekonomian keluarga.
          Indahnya sinar dewi malam menyadarkan Rasyid akan perkataan yang sempat membuat ibunya sedih, dia menyesal dengan kejadian itu.
          “Maa. Maafkan aku… aku tidak bermaksud….”kata Rasyid saat menghampiri ibunya.
          “sudalah nak. Sekarang kamu mandi jangan lupa shalat. Kalau kamu lapar di dapur ada nasi dan tempe. Sisahkan untuk kakakmu.” Ibu Bunga berkata memotong pembicaraan Rasyid. Rasyid menurut begitu saja.

Pengikut