MATERI PERTAMA
A. PENGERTIAN HADIS
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui
yaitu hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Jumhur ulama menyamakan arti hadis dan
sunnah, atau dengan kata lain keduanya merupakan kata sinonim (muradif).
Hanya saja istilah hadis lebih sering digunakan oleh ulama hadis. Sedangkan
ulama ushul fiqh lebih banyak menggunakan istilah sunnah. Nabi sendiri
menamakan ucapannya dengan sebutan al-hadis untuk membedakan antara ucapan yang
berasal dari beliau sendiri dengan yang lain. Berikut ini uraian dari beberapa
istilah di atas:
1.
Hadis
Kata hadis secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid
(baru, antonim kata qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat).
Sedangkan secara terminologi hadis adalah segala
ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter Muhammad Saw setelah beliau diangkat
menjadi Nabi.
2.
Sunnah
Sunnah secara etimologi adalah
perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui baik yang tercela maupun yang
terpuji. Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang
berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmu
masing-masing.
a.
Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, baik perkataan,
perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut pengertian ini sunnah
bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik
sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul. Mereka memandang Nabi
adalah sosok suri tauladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga dalam
pandangan mereka segala sesuatu yang berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya
dengan hukum maupun tidak adalah sunnah.
b.
Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama,
namun mereka membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan
pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat
syariat) di samping Allah. Hanya saja ketika ulama usul mengucapkan hadis
secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut
mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua
hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja.
c.
Ulama fiqh
mendefinisikan sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala bila dikerjakan namun
tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang Nabi saw
sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatannya mengandung hukum syara’.
3. Khabar dan
Atsar
Pengertian khabar dan atsar menurut ulama
hadis adalah sama dengan hadis. Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya
sesuatu yang berasal dari Nabi adalah hadis. Sedangkan yang berasal dari
selain Nabi disebut khabar. Para fuqaha Khurasan menyebut hadis mawquf
dengan khabar dan hadis maqthu‘ dengan atsar.
Menurut arti bahasa khabar ialah berita. Jadi, khabar memiliki
arti yang hampir sama dengan hadis, karena tahdits (pembicaraan) artinya
tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Secara terminologi khabar ada beberapa pendapat, di antaranya
"hadis yang disandarkan pada sahabat", atau "segala berita yang
diterima dari selain dari Nabi". Untuk terminologi khabar, peneliti
lebih sepakat dengan definisi yang pertama - sebagaimana juga dikemukakan oleh
ulama Khurasan- yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat
(mawquf). Hal ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan
antara khabar dengan hadis atau sunnah.
Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa.
Sedangkan secara terminologi ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan
hadis (2). Atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat.
Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya. Dengan
penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Oleh karena itu,
perkataan sahabat disebut dengan atsar
merupakan hal yang wajar.
Dari paparan tentang definisi hadis, sunnah, khabar dan
atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan
oleh muhadditsin terkait ruang lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadis
atau sunnah memberikan pengertian bahwa rawi mengutip hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw (marfu‘). Sedangkan khabar
tidak hanya mencakup hadis marfu‘ saja tetapi juga mengakomodasi hadis mawquf
(rawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan
juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi‘in (maqtu‘) saja.
Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih diidentikkan hanya pada
hadis mawquf atau maqtu‘ saja.
Untuk memudahkan pengidentifikasian hadis, maka akan
lebih mudah apabila istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam
pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah
tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu,
diharapkan akan lebih mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga
menurut hemat peneliti, hadis dan sunnah dipergunakan adalah
untuk hadis marfu‘, khabar untuk hadis mawquf, dan atsar
untuk hadis maqthu‘.
B.
Struktur
Hadits (Sanad, Matan, dan Mukharrij)
1. Pengertian Sanad Hadits
Secara harfiah kata sanad berarti sandaran, pegangan
(mu’tamad). Sedangkan definisi terminologisnya ada dua sebagai berikut:
a. Mata rantai
orang-orang yang menyampaikan matan.
b. Jalan
penghubung matan, (yang) nama-nama perawinya tersusun.
Jadi, sederet nama-nama
yang mengantarkan sebuah hadits itulah yang dinamakan sanad, atau dengan
sebutan lain sanad hadist.
Sanad ialah
rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam
bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah
SAW. Sanad memberikan gambaran keaslian
suatu riwayat.
Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana
diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW beliau
bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta
untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari).
Maka sanad
hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari >Musaddad > Yahya
> Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW.
Sebuah hadits
dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah
penutur/perawi bervariasi dalam lapisan
sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah
sanad dan penutur dalam tiap thaqabah
sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih
jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu
dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
- Keutuhan
sanadnya
- Jumlahnya
- Perawi
akhirnya
Sebenarnya,
penggunaan sanad sudah dikenal sejak
sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai
buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi
mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits
nabawi.
2. Isnad, Musnid, dan Musnad
a. Isnad
Dari segi bahasa, isnad berarti mengangkat hadist hingga pada orang yang
mengucapkannya. Isnad merupakan bentuk atau proses. Sedangkan sanad adalah
keadaannya. Namun demikian, sebagian dari ahli hadits menyatakan bahwa kata
isnad bermakna sama dengan kata sanad, yakni merupakan jaring periwayatan
hadits. Menurut Ibn al-Mubarak, isnad termasuk bagian dari agama, seandainya
tidak ada isnad niscaya orang akan berbicara sembarang, menurut apa maunya.
b. Musnid
Musnid adalah
orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya,
baik mempunyai ilmunya maupun tidak kecuali
ia mengisnadkan hadits seorang diri.
c. Musnad
Adapun musnad adalah materi hadits yang diisnadkan. Dalam pengertian
istilah, kata musnad mempunyai tiga makna, yaitu:
1) Kitab yang menghimpun hadits sistem periwayatan masing-masing shahabat,
misalnya Musnad Imam Ahmad;
2) Hadits marfu’
yang muttashil sanadnya, maka hadits yang demikian dinamakan
hadits musnad;
3) Bermakna
sanad tetapi dalam bentuk Mashdar Mim.
2.
Matan Hadits
Secara harfiyah
matan berasal dari bahasa Arab matn yang berarti apa saja yang menonjol dari
(permukaan) bumi, berarti juga sesuatu yang tampak jelas, menonjol, punggung
jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas, matnul-ard berarti
lapisan luar/kulit bumi, dan yang berarti kuat/kokoh.
Sedangkan
menurut peristilahan Ilmu Hadits, al-Badr bin Jama’ahmemberikan batasan
pengertian matan yakni:
- Matan adalah
redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad.
- Matan
adalah kata-kata (redaksi) hadits yang
dapat dipahami maknanya.
Matan hadits
juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah
SAW, sahabat ataupun tabi’in.
Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi
SAW.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks
bagi hadist. Dari contoh
sebelumnya makamatan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya
apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadist ialah ujung sanad sebagai sumber
redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, matan
hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist
lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada
yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al
Quran (apakah ada yang bertolak belakang atau tidak).
Selama sejarah kehaditsan, konsep ajaran yang dibawa oleh Rasul hampir semuanya
dinarasikan/dibahasakan kembali oleh para sahabat dengan Faqahah dan skill kebahasaan mereka masing-masing, tak terkecuali
hadits qauli yang selanjutnya diteruskan oleh generasi sesudahnya dengan kapasitas
yang beragam dan sangat personal. Sehingga dapat dimaklumi jika lafazh
yang merumuskan konsep ajaran tersebut
banyak memiliki redaksi yang berbeda-beda sebagaimana terdokumentasikan
dalam berbagai kitab koleksi dan kadang lafazhnya tidak fasih (rakikul-lafdh).
Seperti itulah riwayah bil-ma’na. Sehingga
merupakan kesalahan yang fatal jika seseorang mengkulturkan lafadh matan dan menganggapnya sakral. Karena hadits
sangatlah berbeda dengan al-Qur’an yang
qath’iyyuts-tsubut sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dalam surat al-Hijr ayat 9 tentang keterjaminan otentisitas al-Qur’an
baik dari segi teks maupun substansi doktrinalnya.
Tata letak matan
dalam struktur utuh penyajian hadits senantiasa berada pada ujung terakhir setelah penyebutan sanad.
Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data
mengenai proses sejarah transfer informasi
hadits dari nara sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media
pertanggungjawaban ilmiah bagi asal-usul fakta kesejarahan teks hadits.
3.
Mukharrij
Makna harfiah
kata mukharrij yang berasal dari kata kharraja adalah orang yang mengeluarkan.
Makna tersebut juga bisa didatangkan dari kata akhraja dengan isin fa’ilnya
mukhrij. Menurut para ahli hadits, yang dimaksud dengan mukharrij adalah
sebagai berikut: (Mukhrij atau mukharrij: orang yang berperan dalam pengumpulan
hadits). Dapat juga didefinisikan Mukharrijul Hadits adalah orang yang
menyebutkan perawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits/al-muhaddits
yang memiliki keahlian tentang proses perjalanan hadits serta banyak mengetahui
nama-nama perawi, matann-matan dengan jalur-jalur periwayatannya, dan kelemahan
hadits.
Siapapun dapat disebut sebagai mukharrij ketika ia menginformasikan sebuah
hadits baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan menyertakan sanadnya
secara lengkap sebagai bukti yang dapat dipertanggnung jawabkan tentang
kesejarahan transmisi hadits. Yang pasti, mukharrij merupakan perwi terakhir
(orang yang terakhir kali menginformasikan ) dalam silsilah mata rantai sanad.
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa apa yang dimaksud denganmukharrij
atau mukhrij adalah perawi hadits (rawi), atau orang-orang yang telah
berhasil menyusun kitab berupa kumpulan hadits, seperti al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, dsb. Dalam contoh
hadits di atas al-Bukhari adalah seorang mukharrij / mukhrij / rawi bagi
sebuah hadits.
Setiap orang yang bergelut dalam bidang hadits dapat digolongkan menjadi beberapa
tingkatan antara lain sebagai berikut:
1. Al-Talib; adalah orang yang sedang belajar hadits.
2.
Al-Muhadditsun; adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadits dari segi
riwayah dan dirayah.
3. Al-Hafidz; adalah orang yang hafal minimal 100.000
hadits.
4. Al-Hujjah; adalah orang yang hafal minimal 300.000
hadits.
5. Al-Hakim;
adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara
keseluruhan baik ilmu maupun mushthalahul hadits.
6. Amirul
Mu’minin fil hadits; ini adalah tingkatan yang paling tinngi.
Menurut syeikh Fathuddin bin Sayyid al-Naas, al-muhaddits
pada zaman sekarang adalah orang yang bergelut/sibuk mempelajari hadits baik
riwayah maupun dirayah, mengkombinasikan perawinya dengan mempelajari para perawi yang semasa dengan perawi
lain sampai mendalam, sehingga ia mampu mengetahui guru dan gurunya guru perawi
sampai seterusnya.
D. Kedudukan Sanad
dan Matan Hadits
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang
diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad
suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits yang dapat diterima atau
ditolak dan hadits yang shahih atau tidak shahih untuk diamalkan. Sanad
merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalm menerima suatu hadits, kecuali
apabila mengenal dari siapa perawi hadits tersebut menerima hadits tersebut dan
sumber yang disebutkan benar-benar dapat dipercaya.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., periwayatan hadits diawasi secara
hati-hati dan suatu hadits tidak akan diterima jika tidak disaksikan
kebenarannya oleh orang lain. Ali tidak menerima hadits sebelum orang itu
disumpah.
Perhatian sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan
mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Maka terpeliharalah sunnah Rasul
dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta.
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya
hingga sampai kepada Nabi SAW dengan bersambung-sambung para perawinya adalah
suatu keistimewaan dari Allah, khususnya orang islam.
MATERI KEDUA
A.
Dalil
Kehujjahan Hadist
Ada beberapa dalil yang menunjukan atas kehujjahan hadist dijadikan
sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1.
Dalil
Al-Qur’an.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang yang memerintahkan untuk patuh
kepada rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti
perintah mengikuti sunnah sebagai hujjah, diantaranya adalah:
a.
Surah
An-Nisa’:136
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya ..............................”
b.
Surah
Ali-Imran: 32
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
c.
Surah
At-Taghaabun: 12
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya,
jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.”
Beberapa ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnahnya.
2. Dalil hadis.
Beberapa ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnahnya.
2. Dalil hadis.
Hadis yang dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. “Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik)
b. Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
a. “Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik)
b. Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
Rasull bertanya: “Bagaimana kamu menetapkan hukum bila dihadapkan
kepadamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum?” Mu’az menjawab: “Saya akan
menetapkan dengan kitab Allah SWT,” lalu Rasull bertanya: “Seandainya kamu
tidak mendapatkanya dalam kitab Allah?”
Mu’az menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah,” Rasull bertanya lagi: “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah?” Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.” Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.” (HR. Abu Daud dan Al-Tarmidzi)
Mu’az menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah,” Rasull bertanya lagi: “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah?” Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.” Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.” (HR. Abu Daud dan Al-Tarmidzi)
c. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah
khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu
sekalian denganya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah) Hadist-hadist diatas
menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya apabila
hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Orang
yang tidak berpegang teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang yang
sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah, dan
siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan
kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
B.
Perdebatan
Seputar Kehujjahan Hadist.
1.
Gerakan
Ingkar Sunnah
Dewasa ini banyak orang atau golongan yang bermunculan yang
berupaya mendasari sumber ajaran Islam itu semata-mata hanya kepada Al-qur’an.
Sedangkan untuk sunnah/ hadist mereka tidak menempatkanya sebagai sumber ajaran
agama Islam. Karena menurut mereka sunnah baru ada setelah 200 tahun sesudah
Nabi wafat.
Orang-orang atau golongan ini terkenal dengan istilah ingkar
sunnah, yaitu suatu paham yang timbul dari sebagian kecil kaum muslimin. Secara
umum mereka melakukan ini hanya untuk mencari kepopuleran dalam masyarakat
Islam.
Aliran-aliran ingkar sunnah dapat dikategorikan menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Ingkar sunnah mutlaq, yaitu mengingkari sunnah secara seluruhnya.
b. Ingkar sunnah Ba’dh As-sunnah, yaitu mengingkari sebagian dari sunnah.
c. Ingkar sunnah Bigharit Tariqi, yaitu mengingkari sunnah yang sanadnya tidak memenuhi dengan syarat-syarat yang mereka gariskan. Pada umumnya alasan-alasan para pengingkar sunnah adalah sebagai berikut: a. Menurut mereka, tugas Rasul adalah menyampaikan isi kandungan Al-qur’an/ wahyu dari Allah SWT yang telah diturunkan kepadanya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-qur’an yang akan menimbulkan hukum-hukum baru.
b. Menurut mereka Al-qur’an adalah firman yang telah lengkap isinya dan tidak diragukan lagi kandunganya, yang juga terdapat keterangan ayat yang kurang jelas, maka tidak dibutuhkan lagi sunnah untuk memperjelasnya.
a. Ingkar sunnah mutlaq, yaitu mengingkari sunnah secara seluruhnya.
b. Ingkar sunnah Ba’dh As-sunnah, yaitu mengingkari sebagian dari sunnah.
c. Ingkar sunnah Bigharit Tariqi, yaitu mengingkari sunnah yang sanadnya tidak memenuhi dengan syarat-syarat yang mereka gariskan. Pada umumnya alasan-alasan para pengingkar sunnah adalah sebagai berikut: a. Menurut mereka, tugas Rasul adalah menyampaikan isi kandungan Al-qur’an/ wahyu dari Allah SWT yang telah diturunkan kepadanya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-qur’an yang akan menimbulkan hukum-hukum baru.
b. Menurut mereka Al-qur’an adalah firman yang telah lengkap isinya dan tidak diragukan lagi kandunganya, yang juga terdapat keterangan ayat yang kurang jelas, maka tidak dibutuhkan lagi sunnah untuk memperjelasnya.
Ditambah lagi, mereka menjadikan ayat-ayat berikut sebagai alasan
keingkaran terhadap sunnah:
- “..............Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 122)
- “...............Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”(QS. Al-A’am: 38) - “...................Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Dr. Ahmad Zaki dalam bukunya “Tsaurah Al Islam” mengatakan bahwa, hadist itu adalah suatu kedustaan, terutama bagi perawi-perawinya. Karena hadist itu adalah hal yang dibuat-buat oleh manusia setelah 200 tahun kematian Nabi. Ahmad Dien adalah seorang guru disekolah Islam Amritsan, dia memiliki pemikiran yang sangat cemerlang dalam mengkaji agama. Namun, ia hanya merujuk pada Al-qur’an semata sebagai satu-satunya dasar ajaran agama Islam. Baginya hadist bukanlah hujjah dalam agama, karna itu umat tidak boleh berpegang pada sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam.
Sedangkan menurut Ahmad khan, salah satu ahli Qur’an, menyatakan bahwa para ulama sangat ceroboh dan salah dalam penyaringan terhadap sanad dan matan hadist. Hadist yang dapat dijadikan sebagi hujjah adalah hadist yang diriwayatkan secara mutawatir, yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasull. Selain hadist yang dapat memenuhi syarat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
- “..............Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 122)
- “...............Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”(QS. Al-A’am: 38) - “...................Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Dr. Ahmad Zaki dalam bukunya “Tsaurah Al Islam” mengatakan bahwa, hadist itu adalah suatu kedustaan, terutama bagi perawi-perawinya. Karena hadist itu adalah hal yang dibuat-buat oleh manusia setelah 200 tahun kematian Nabi. Ahmad Dien adalah seorang guru disekolah Islam Amritsan, dia memiliki pemikiran yang sangat cemerlang dalam mengkaji agama. Namun, ia hanya merujuk pada Al-qur’an semata sebagai satu-satunya dasar ajaran agama Islam. Baginya hadist bukanlah hujjah dalam agama, karna itu umat tidak boleh berpegang pada sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam.
Sedangkan menurut Ahmad khan, salah satu ahli Qur’an, menyatakan bahwa para ulama sangat ceroboh dan salah dalam penyaringan terhadap sanad dan matan hadist. Hadist yang dapat dijadikan sebagi hujjah adalah hadist yang diriwayatkan secara mutawatir, yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasull. Selain hadist yang dapat memenuhi syarat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
2. Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
Menurut Imam malik ibn Anas, Al-qur’an itu adalah pokok hukum
syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima penjelasan dari
sunnah. Al-qur’an menjelaskan syar’i secara kulit, sedangkan sunnah menjelaskan
hukum-hukumnya secara terperinci. Kita memerlukan sunnah bukan karena dia
adalah sebagi sumber hukum kedua, tapi karena dia menafsirkan ayat-ayat
Al-qur’an yang mujmal. Imam Syafi’i memandang Al-qur’an dan sunnah berada dalam
satu martabat, bahkan baginya hanya keduanyalah yang menjadi sumber hukum
Islam. Ia dengan tegas membantah kaum khawarij yang menolak kehujjahan sunnah.
Sedangkan pandanganya terhadap hadist ahad, ia menyatakan bahwa hadist ini
tidak bisa dijadikan hujjah.
Menurut Imam Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:
Menurut Imam Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:
- Rasulullah SAW adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh seorangpun
menafsirkan Al-qur’an tanpa sunnah rasulullah SAW.
- Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran
apabila tidak menemukan dalam sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi
terutama tentang nuzulul Qur’an dan penjelasanya.
C.
Hubungan
Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an
Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan.
Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat
umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil
untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai firman Allah
SWT:
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan
Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS.
An-Nahl:44)
Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh manusia,
maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan
ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam, diantaranya:
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu sebagai bayan Ta’kid dan bayan Tafsir.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu sebagai bayan Ta’kid dan bayan Tafsir.
Imam malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist
terhadapm Al-qur’an, yaitu: Bayan Al-Taqrir, Bayan Al-Tafsir, Bayan Al-Tafshil,
Bayan Al-Ba’ts, Bayan Al-Tasyri’. Sedangkan imam Syafi’i menyebutkan ada lima
fungsi yaitu: Bayan Al-Tafshil, Bayan At-Takhshish, Bayan Al-Ta’yin, Bayan
Al-Tasyri’, Bayan Al-Nasakh.
1.
Bayan
Al-Taqrir. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa
yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh : “Apabila kalian melihat (ru’yah)
bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.”
(HR. Muslim)
Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185 Artinya: “..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185)
Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185 Artinya: “..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185)
2.
Bayan
Al-Tafsir. Yang dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan
secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.
FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk
menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Q.S. Al-Nahl: 44.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat
dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan
dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan)
al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi,
yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts,
bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan
al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan
bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan
al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.
Untuk lebih jelas berikut akan diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis
terhadap Al-Qur’an.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan
al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat
apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan
Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ
فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat
(ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka
berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini
dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap
ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada
ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith
dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap
ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat
yang masih umum.
a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat
yang ringkas atau singkat, global)
Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)
“Sholatlah sebagaimana
engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an
tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat
adalah:
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh:
43)
b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu
sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid
dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat,
keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah )
c. Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam
jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang
menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis
yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku
pada bagian-bagian tertentu. Mengingat
fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya
dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat
bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash,
sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya. Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak
menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis
keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3. Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya
(ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id
‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk
ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum
syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris
bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ
عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasul SAW
telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat
(sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki
atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan
terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak
boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW)
mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4. Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam.
Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap
sebagian hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan
bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini
karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun
jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan
lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak
diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap
al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai
untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh
al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun dengan hadith Ahad.
Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm
serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh
dengan syarat bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini
diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh
dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir.
Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW
dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه أحمد والأربعة
الاالنسائ)
“Sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat
bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i)
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini
menurut mereka menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....”
Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat
al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang
menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
MATERI KETIGA
SEJARAH HADIS PRA MODIFIKASI
A.
Hadist
pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul
SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya
akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist.
Rasul membina umatnya selama 23
tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian
para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/
keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang
berkaitan:
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini
yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung
memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana
tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah
masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan
ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori,
disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan
hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti
pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriam
dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan
hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang
memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini
disebabkan karena:
- Perbedaan
mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
- Perbedaan
dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
- Perbedaan
dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul
SAW.
- Perbedaan
dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
- Para sahabat yang termasuk
As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin
Affan, Ali bin Abi Tahlib.
- Ummahat Al-Mu’minin
(istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang
diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat
pergaulan suami istri.
- Para sahabat yang disamping
dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti
Abdullah Amr bin Ash.
- Sahabat yang meskipun tidak
lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan
kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti
Abu Hurairah.
- Sahabat yang secara sungguh-sungguh
mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti,
Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.
1. Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an
dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi
instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau
secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang
lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
a.
Kegiatan
menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
b.
Mereka
terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
c.
Rasulullah
banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan
dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
d.
Dan
Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan
hadist dan menyampaikan kepada orang lain.
Aktifitas menulis hadist
Keadaan
Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan
hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن
كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه
”
jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis
dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id
Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من
فمن الاالحق
”
tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari
mulutku kecuali yang hak”.
Dua
hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya
sebagai berikut:
- Bahwa larangan menulis hadist
itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak
tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin
semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum
larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
- Bahwa larangan menulis hadist
itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang
yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr
bin Ash.
- Bahwa larangan menulis hadist
ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.
B. Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
1.
Hadist
pada masa sahabat
Periode
kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan
sahabat besar.
Sahabat dan Periwayatan Hadist
Sahabat dan Periwayatan Hadist
- Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada
masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang
lain sebagai mana sabdanya
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
- Berhati-hati dalam Meriwayatkan
dan Menerima Hadist.
Perhatian
sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan
menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu
Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa
Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah
yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di
Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
- Periwayatan Hadist dengan
Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan
periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat
kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam
batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan
ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara
ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam
meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya
saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul
SAW tanpa ada perubahan.
Abu Bakar
Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu,
misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang
padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak
laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik
dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai
saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta
peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar
amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami
bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan
tertentu hadist nabi ditulisnya.
Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai
dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras
menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang
membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan
seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang
memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar
kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti
periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah
nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat
tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam
sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum
yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi
untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan
karena:
- Agar tidak memalingkan
perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
- Para sahabat yang banyak
menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan
Islam.
- Soal membukukan hadist,
dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
2. Hadist pada masa Tabi’in
Pada
dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja
persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain,
usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin
kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari
hadist.
Ketika
pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi
Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,
Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam
tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu,
masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.
Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.
Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.
Dari
persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan
pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya.
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik
masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang
berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan
pemalsuan.
MATERI KEEMPAT
PENGERTIAN
KODIFIKASI
Yang dimaksud kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah
mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan
menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun
catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf.
Antara kodifikasi (tadwin) hadist dan Jam’ul Qur’an memiliki
perbedaan. Sebagaimana dikatakan Muhammad Quraisy Syihab , pencatatan dan
penghimpunan (tadwin) hadist Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan
al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadist, tidak dibentuk tim, sedangkan
dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadist dilakukan secara
mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadist. Sekiranya penghimpunan hadist itu
harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak
kesulitan, karena jumlah periwayat hadist sangat banyak dan tempat tinggal
mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.
Di samping itu, hadist Nabi SAW tidak hanya termuat dalam
satu kitab saja. Kitab yang memuat hadist Nabi cukup banyak ragamnya, baik
dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya,
maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat
al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan
demikian, penghimpunan hadist Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
Masa
kodifikasi (tadwin) hadist terbagi dua, yaitu
Ø
Kodifikasi
hadist yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy)
Kodifikasi
yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah
dimulai sejak masa Rasul. Sementara
Ø
Kodifikasi
hadist secara resmi (tadwin al-rasmiy).
Kodifikasi
hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai
pada masa Umar ibn Abdul Aziz.
ABAD KE II H DIWANUL HADIST
A.
PENGERTIAN DIWANUL HADIST
Mengutip dari kitab al Muhith al
fairuz mengatakan bahwa : tadwin secara bahasa di terjemahkan dengan kumpulan
shahifah ( mujtama’al shuhuf). Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu
diwan atau kitab yang terdiri darilembaran-lembaranSedangkan
secara makna luasnya adalah al jam’u (mengumpulkan / membukukan).
Apabila merujuk dari dua pengertian diatas dapat di
simpulkan pentadwinan hadist dapat diartikan diwanul hadist, dalam bahasa
Indonesia nya tadwin ini lebih umum di kenal dengan nama kodifikasi.
B.
KEADAAN HADIST ABAD KE II H
Setelah agama Islam tersiar dengan luas
di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar
jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak
sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits
diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (61-101 H sebagai (Khalifah ke 8 dari Bani
Umayyah berinisiatif
mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a. Kenginan beliau
yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya
hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi
al-Hadits.
b. Keingina beliau
yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari hadits-hadits maudhu'
yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan
mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun
"Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c. Alasan tidak
terkodifikasinya Hadits di zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena
adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini
disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata
diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari
beribu-ribu umat Islam.
d. Hingga pada penghujung
abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada
para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk
mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits:
"Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu
dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan
punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits,
baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang
banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. begitu juga beliau menginstruksikan
kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam
(124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam
lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap
wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarawan dan ulama menganggap
bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertamakali mengodifikasikan
hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah
periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah
Abbasyiah. Maka bangunlah ulama’-ulama’ pada periode ini seperti : di mekah,
Ibnu Juraij al-Bashary ( w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w.
151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan
Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di
Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu
al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi
yang sama, yaitu pada abad ke II H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara
mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu
Hazm dan al-Zuhry.
C.
CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG
DIKODIFIKASIKAN PADA ABAD KE-II H
Terdorong oleh kemauan keras untuk
mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan
atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi
semata–semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih
jauh dari itu mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash Hadits menurut
kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian, karya ulama abad II H ini masih
bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan
tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut
belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu',
dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif.
sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur karya
ulama abad kedua antara lain :
1.
Al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik
pada tahun ( 93 – 179 H ) selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadist telah
disusunnya kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada priode ini. Dan buku
ini di tulis antara tahun 130 H sampai 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur.
jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits.
*
600
Hadistnya Marfu’ ( terangkat sampai kepada Nabi SAW )
*
222
Hadistnya Mursal ( adanya perawi sahabat yang di gugurkan )
*
617
Hadistnya Mauquf ( terhenti sampai kepada tabi’in )
*
275
Sisanya adalah ucapan Tabi’in.
kehadirannya dalam masyarakat mendapat
sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah. sebagaimana ia di isyaratkan
dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga
diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan kitab "Tanwiru
al-Hawalik", dan al-Khaththaby mengikhtisharnya dengan kitab
yang beranama "Mukhtahsaru al-Khaththaby"
2. Musnadu
al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, Muhammad bin Idris Asy – Syafi’i (
150 – 204 H ), didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada
dalam kitab al-Umm.
3. Mukhtalifu
al-Hadits, karya Imam ( 150 – 204 H ), beliau
menjelaskan dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan
menjelaskan cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya
kontradiksi antara satu dengan yang lain.
4. Al – Musnad oleh Imam Abu Hanifah An- Nu’man (
Wafat 150 H )
5. Al – Musnad oleh Imam Ali Ridha Al – Katsin (
148 – 203 H ).
6. Al – Jami’ oleh A Abdulrazaq Al – Hamam Ash
Shan’ani ( Wafat 311 H )
7. Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 –
180 H ).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud ( 94 – 175
H ).
11. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 –
190 H ).
12. As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman Bin Amr
Al-Auza’I ( wafat 157 H ).
13. As-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa Al
– Sadi .
Semua kitab-kitab hadist yang ada pada abad ini tidak sampai
kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu no 1 sd 5.
PERIODE PENYARINGAN AL-HADITS ABAD KE
III H
Pada abad ke III H ini para ulama’ hadist memfokuskan pengkodifikasian
hadist pada beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah
di kemukakan pada masalah sebelumya bahwa pembukuan hadist belum terpisah –
pisah anatara hadist yang saheh, hasan, mauquf dan maudhu’.
Beberapa langkah untuk
melestarikan hadist pada abad ke III H ini adalah sebagai berikut :
v Perlawatan kedaerah – daerah para
perawi hadist yang jauh dari pusat kota
Contohnya ;
Imam
Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih 8 kota di timur tengah
seperti Mekah, Madinah, Bagdad Mesir dll.
v Pengklafikasian hadist marfu’,
mauquf dan maudlu’( palsu )
v Hadist Nabi, Asar Sahabat, dan Aqwal
( Ucapan ) Tabi’in dikategorikan, dipisah dan dibedakan
v Riwayat Maqbulah ( di terima )
dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke II diperiksa kembali dan
di tashih ( diautentikasi).
v Selama priode ini, bukan hanya
riwayat yang di kumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadist ( lebih
dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah di tulis.
v Penyeleksian dan pemilihan hadist
kepada shahih, hasan dan dhaif.
Contoh
:
·
Penyaringan
Hadist Sahih oleh imam ahli hadist Ishaq Bin Rawahih ( Gurunya Imam Bukhari )
·
Penyusunan
kitab Saheh Bukhari
Periode ini dikenal dengan periode
penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang
oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh
mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka
berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih,
dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu',
meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang
terselip di kitab hadits shahih mereka. Maka
pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya
memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu
al-Sittah" yaitu :
1.
Shahih al-bukhari atau al-Jami'u
al-Shahih. karya Muhammad bin Ismail
al-Bukhari (194-256 H.) Beliau
adalah Amir al-Mukminin dalam hadist beliau bernama Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin ibrohim Bin Mughirah
bin Bardizbah Beliau dilahirkan 13 Syawal 194 H, wafat malam idul fitri tahun
256 H. Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya dia dijuluki Imam
al-Muhaddisin. Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti
yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi
al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082 hadits yang terdiri
dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'.
namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam
Bukhari. Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik)
setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih
dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan
Ibnu Abi Jamrah.
2. Shahih
al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin
Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).
Nama lengkap beliau
adalah Imam Abdul Husain bin al–Hajjaj bin Muslim. Dia dilahirkan
Naisabur tahun 204 H wafat tahun 261 H. Beliau adalah imam hadits kedua setelah
Imam Bukhari. Menurut sebagian ulama Maghribi dan Abu Muhammad bin Hazm
Al-Dzahiri kitab yang dikarang oleh beliau lebih utama dibandingkan dengan
Sahih Bukhari. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang membuat kitab Sahih
Muslim lebih diutamakan antara lain:
1. Karena
kebagusan susunannya yang teratur.
2. Hadits yang
teriwayatkannya sejalan dan dalam satu tema di kumpulkan dalam satu tempat,
tanpa memotong hadits ke dalam bab lain.
3. Hadits
yang diriwayatkan hanya hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf
dan muallaq.
Jika mereka mengutamakan
Sahih Muslim karena beberapa hal berdasarkan syarat-syarat keshahihan hadits
kami tidak sependapat. Walaupun begitu kitab Sahih Bukhori dan Muslim merupakan
kitab paling sahih yang pernah ditulis oleh imam hadits. Pengarangnya telah
memberikan sumbangan yang luar biasa besarnya kepada agama. Oleh karena itu
kita patut bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak
dipungkiri lagi.
3. Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud
Nama
lengkap beliau adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq Basyir bin Syidad
bin Amir al-Sajastani, dia dilahirkan tahun 202
H wafat 275 H. Hadits yang ditulis oleh beliau tidak hanya memasukkan hadits
sahih saja, akan tetapi memasukkan hadits hasan dan dha’if. Dalam kitab yang
dikarang oleh beliau terkenal sebagai kitab Hakim .
4. Sunan
al-Tirmidzi, Karangan Muhammad bin Isa bin Surah
al-Tirmidzi. Beliau lahir pada malam senin 13
Rajab tahun 209 H dan wafat tahun 279 H. Metode yang digunakan beliau dalam
menulis hadits adalah apapun yang diamalkan oleh ahli fiqh maka oleh beliau
diriwayatkan. Oleh karena itu beliau
meriwayatkan hadits baik yang hasan, dhoif, ghorib dan muallal dengan
disertai penjelasan sesuai dengan derajad haditsnya.
5. Sunan Nasa'i, karangan Ahmad Bin Sya’ban
Abu Abdu
al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy. Beliau lahir pada tahun 215
H dan wafat tahun 303 H dalam kitab beliau yang bernama Sunan Nasai hampir sama
dengan kitab hadits bukhori dan Muslim dengan artian yang ditulis di dalamnya
adalah hadits yang sahih meskipun ada sedikit hadits yang dha’if.
6. Sunan Ibnu Majah, karangan Muhammad Abu
Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah Beliau lahir pada
tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. dari kelima kitab hadits kitab karangan
beliau yang menempati urutan yang keenam. Hal ini karena ada sebagian ulama yang tidak
mengikutsertakan kitab karangan Imam Ibnu Majjah ke dalam kitab hadits pokok.
7. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah Bin
Abdurrahman Ad Damiri ( 181- 255 H )
8. Al–Musnad oleh Imam Bin Hambal ( 164 – 241 H
)
9. Al–Muntaqa Al Ahkam oleh Imam Abdul Hamid Bin
Jarud ( Wafat 307 H )
10. Al–Mushannaf oleh Imam Ibn Abi Syaibah ( Wafat 235 H )
11. Al–Kitab oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
12. Al–Mushannaf oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad Bin Jarir At – Thobari ( Wafat 310 )
14. Al–Musnadul Kabir oleh Imam Baqi’bin Makhlad Qurthubi (Wafat 276 H)
15. Al–Musnad oleh Imam Ishaq Bin Rawahih ( Wafat 237 H )
16. Al–Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( Wafat 213 H )
17. Al–Musnad oleh Abdibni Ibn Humaid ( Wafat 249 H )
18. Al–Musnad oleh Imam Abu Ya’la ( Wafat 307 H )
19. Al–Musnad oleh Imam ibn Abi Usamah Al-Harist Ibn Muhammad At-
Tamimi (Wafat 282 H)
Dan
masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang di tulis oleh para ulama abad ini.
PERIODE
PENGHAFALAN HADITS ABAD KE IV H
A. KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST
Pada priode ini penghimpunan hadist disertai pemeliharaan nya tetap dilakakukan
walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadist-hadist yang di himpun
tidaklah sebanyak sebelum priode ini.
Didalam era ini jenis kitab-kitab hadsit Nabi SAW. Mencakup sebagain besar
kitab-kitab hadist yang sifatnya mengumpulkan kitab-kit ab hadist yang telah
dihimpun dalam kitab-kitab hadist Nabi SAW sebelumnya.
Kegiatan periwayatan hadist pada priode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah
( lesensi/ sertifikat dari guru utnutk murid untuk mendapat izin meriwayatkan
hadist ). Sedikit sekali ulama’ yang melakukan seperti ulama’ Muqaddimin.
B. BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA
PRIODE INI
Para ulama’ hadist pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan
bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan
menyelidiki sanadnya. Seperti kitab
· Jami’ Kutub As-Sittah ( kitab hadist yang mengumpulkan hadist-
hadist Nabi SAW yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadist
seperti
· Saheh Bukhari
· Saheh Muslim
· Sunan At – Turmuzi
· Sunan Abu Daud
· Sunan An – Nasa’i
· Sunan Ibnu Majah
· Diantaranya karya Ahmad bin Razin Bin Muawiyyah Al Abdari Al
Saeqithi ( Wafat 535 H ) dan beberapa kitab lainya.
· Kitab Istikhraj,
yaitu mengambil sesuatu hadist dari Sahih Bukhari Muslim umpanya, lalu
meriwayatkkannya dengan dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Imam Bukhari
atau Imam Muslim karena tidak memproleh sanad sendiri.
Contohnya
Mustakhraj Shaheh Bukhari oleh Imam Jurjani, dan Mustakhraj Saheh Muslim
oleh Abu Awanah
· Kitab Athraf,
yaitu kitab yang hanya menyebut sebagain hadist kemudian mengumpulkan seluruh
sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
· Kitab – Kitab Zawaid, Yaitu kitab mengumpulkan hadist-hadist yang tidak terdapat
dalam kitab-kitab sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
Contohnya
Zawaid Ibnu Majah Ala Al –Usuli Al Khamsah.
·
Kitab Syarah
·
Kitab Mukhtashar
·
Kitab Petunjuk
· Kitab Istidrak,
yaitu mengumpulkan hadist-hadist yang memiliki syarat- syarat Bukhari dan
Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di
sahehkan oleh kediuanya.
Contohnya
Al –
Mustadrak Ala Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah
Al-Hakim An- Naisaburi ( 321 – 405 H )
Abad ke IV H
ini merupakan abad pemisahan antara ulama’ Mutaqaddimin, yang dalam menyusun
kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau
tabi’ tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan
ulama’ mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka
hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka
berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah
dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal
beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar
keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun
Kitab–kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
1. Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath,
Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam
Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).
2. Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3. Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq
bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4. Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin
Ishaq (316 H.).
PERIODE
MENGKLASIFIKASIKAN DAN MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB-KITAB HADITS ABAD KE V
SAMPAI SEKARANG
Usaha ulama
ahli hadits pada abad ke V samapi sekarang adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping
itu mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar. kitab-kitab hadits yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu
'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini
antara lain:
1. Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali
al-Baihaqy (384-458 H.)
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3. Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852
H.).
4. Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin
Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan
modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima
lebih luas, simple dan sistematis. Diantara mereka adalah :
1. Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2 kitab sahih sesuai urutan
sanad.
2. Abu Sa’adah Mubarak bin
al-‘Asyir tahun 606 H beliau mengumpulkan enam kitab hadis dengan urutan
bab.
3. Nuruddin Ali al-Haitami
beliau melengakapi 6 kitab dengan karangan-karangan lain ( selain kutub
al-sittah ).
4. Al-Suyuthi tahun 911
H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami al-Kabir
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits
targhib dan tarhib, sepeti :
1. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul
‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2. Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan
al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam
Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga
menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk
mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1. al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin
al-Suyuthy (849-911 H.)
2. Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati
‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy
al-Nabulisy.
3. Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi
al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
4.
Miftahu
al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc
MATERI KELIMA
Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul Hadis adalah istilah Ilmu Hadis di dalam
tradisi Ulama` Hadis. (Arabnya: `Ulum al Hadits). `Ulum al Hadits
terdiri atas dua kata, yaitu `Ulum dan al Hadits. Kata `Ulum
dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari `Ilm, jadi berarti
“ilmu-ilmu”; sedangkan al Hadits di kalangan Ulama` Hadis berarti
“segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,
taqrir, atau sifat.” Dengan demikian `Ulum Al Hadits mengandung
pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi “.
Secara umum para Ulama` Hadis
membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah (`Ilm al
Hadits Riwayah) dan Ilmu Hadis Dirayah (`Ilm al Hadits Dirayah):
1.
Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
a.
Menurut
Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah
ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan
perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian
lafaz-lafznya.
b. Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib,
yaitu:
Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala
sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan
cara yang teliti dan terperinci.
c.
Menurut
Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat
diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW serta periwayatan,
pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu
Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari
segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
- Cara periwayatan Hadis, baik dari
segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi
kepada perawi yang lainnya;
- Cara pemeliharaan Hadis, Yaitu dalam
bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan
terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari
kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan
pembukuannya.
2.
Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu
Hadis Dirayah ini. Akan tertapi, apabila di cermati definisi-definisi
yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang
lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
a.
Menurut
ibnu al-Akfani, yaitu:
Dan ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang
bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan
hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuaatu yang berhubungan dengannya.
b. Imam al-Suyuti merupakan uraian dan
elaborasi dari definisi diatas, yaitu:
Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadis)
dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits,
yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah
menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana
fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Syarat-syarat Riwayat yaitu penerimaan para perawi terhadap
apa yang di riwayatkan dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan
riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama` (perawi
yang mendengar langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira`ah (murid
membacakan catatan Hadis dari gurunyadi hadapan guru tersebut), ijazah (memberi
izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang Ulama` tanpa
di bacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan suatu Hadis yang tertulis
kepada seseorang untuk di riwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk
seseorang), i`lam (memberi tahu seseorang bahwa Hadis-hadis tertentu
adalah koleksinya), washiyyat (mewasiat-kan kepada seseorang
koleksi Hadis yang di milikinya), dan wajadah (mendapat-kan koleksi
tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
Macam-macam riwayat adalah seprti periwayatan muttashil (periwayatan
yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi yang terakhir),
atau munqothi` (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah atau
di akhir), dan yang lainnya.
Hukum riwayat adalah al-qobul (di terimanya suatu
riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu), dan al-radd
(ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi).
Keadaan para perawi maksudnya adalah
keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-`adalah) dan ketidakadilan
mereka (al-jarh).
Syarat-syarat mereka yaitu
syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat
(syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat
(syarat pada al-adda`).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf
al-marwiyyat) adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu`jam, atau
al-ajza` dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis-hadis
Nabi SAW.
c.
M. `Ajjaj
al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu:
Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima
atau ditolaknya.
Dengan
urian sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi adalah orang yang
meriwayatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Al-marwi
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in; keadaan
perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi
dari segi jarh dan ta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya
dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau
terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau
ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini,
berdasarkan definisi diatas adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi
persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad
Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat
terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak
di benarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi,
tidak diketahui idenatitasnya atau tersamar; (ii) segi keterpercayaan sanad
(tsiqot al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat didalam sanad
suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat
hafalan atau dokumentasi Hadisnya); (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz);
(iv)keselamatannya dari cacat (`illat); dan (v) tinggi dan rendahnya
suatu sanad.
Sedangakan pembahasan mengenai matan adalah meliputi
segi ke-shahih-an atau ke-dho`ifan-nya. Hal tersebut dapat
terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di
dalam Al-Qur`an, atau keselamatannya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat
al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasd al-ma`na),
karena bertentangan dengan akal dan panca indra, atau dengan kandungan dan
makna Al-Qur`an, atau dengan fakta sejarah; dan (iii) dari kata-kata asing (gharib),
yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum
dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk
mengetahui dan menetapkan Hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima
sebagai dalil atau untuk di amalkan), dan yang mardud (yang ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang selanjutnya secara umum
dikenal dengan Ulumul Hadis, Mushthalah al-Hadits, atau Ushul
al-Hadits. Keseluruhan nama-nama diatas, meskipun bervariasi, namun
mempunyai arti dan tujuan yang sama yaitu ilmu yang membahas tentang
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu
Hadis, dari segi diterima dan di tolaknya.
Cabang-cabang Ulumul Hadis
Diantara
cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari
sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang
terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh
tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana
saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja
mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis. Ada
beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang
menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada
juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat
kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa,
pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan
bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini
ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil
(menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan
sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya,
cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil,
sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama.
Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam,
maka yang diambil adalah hadis shahih.
c. Ilmu Fannil Mubhamat
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Misalnya perawi-perawi yang tidak
tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu
Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
d. Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah
bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Mungkin
dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya, yang bisa
disebut sebagai ilmu Talfiq al-Hadits.
e. Ilmu `Ilalil Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi
yang dapat merusak keabsahan suatu Hadis. Misalnya memuttasilkan Hadis yang munqathi`,
memarfu`kan Hadis yang mauquf, memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang
lain, dan sebagainya. Ilmu yang satu ini menentukan apakah suatu Hadis termasuk
Hadis dla`if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat melemahkan
suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari segala illat.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan Hadis Rasulullah
SAW yang sukar di ketahui dan di pahami orang banyak karena telah berbaur
dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Atau ilmu yang menerangkan makna
kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang
kurang terpakai oleh umum.
g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang bertentangan dan
tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh)
hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh,
dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku
selanjutnya.
h. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
(sebab-sebab munculnya Hadis)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan
sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an
dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab wurud
al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya,
akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan.
i. Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian
(istilah-istilah yang di pakai oleh ahli-ahli Hadis.
Contoh Kitab yang Berhubungan dengan
Cabang-cabang Ulumul Hadis.
a.
Ilmu Rijal
al-Hadis
1. Kitab yang disusun berdasarkan
generasi (thabaqot)
-
Kitab
Al-Thabaqot al-Kubra, karya Abu abdillah ibn Sa`ad Katib al-Waqidi (168-230 H)
-
Thobaqot
al-Riwayat, karya Khalifah ibn Khayyath al-`Ushfuri (w. 240 H)
-
Kitab
Tadzkirat al-Huffazh, karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746 H/1348 M).
2. Kitab yang disusun secara umum
berdasarkan huruf abjad agar mudah menggunakannya, seperti Al-Tarikh
al-Kabir, karya Al-Imam Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256 H).
3. Kitab yang membahas biografi para
sahabat Nabi, seperti:
-
Al-Isti`ab
fi Ma`rifat al-Ashab, karya Ibn `Abdil Barr (w. 463 H/1071 M). yang memuat
biografi tidak kurang dari 3500 orang sahabat.
-
Usud
al-Ghabah fi Ma`rifat al-Shahabah, karya `Izzuddin ibnul Atsir (w. 630 H/1232
M). yang memuat biografi sebanyak 7554 orang sahabat.
4. Kitab yang membicarakan para
periwayat enam kitab (Shahih al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan
al-Turmudzi, Sunan al-Nasa`I, Sunan Ibn Majah) antara lain, Al-Kamal fi Asma
al-Rijal, karya `Abdul Ghani al-Maqdisi (w. 600 H/1202 M).
b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Kitab-kitab
yang disusun mengenai Jarh dan Ta`dil, ada beberapa macam yaitu:
1. Kitab yang melengkapi orang-orang
kepercayaan dan orang-orang lemah, seperti Kitab Thobaqot Muhammad ibn Sa`ad Az
Zuhry Al Bashory (230 H).
2. Kitab yang menerangkan orang-orang
yang dapat di percaya saja, seperti Kitab Ats Tsiqot, karangan Al `Ajaly (261
H) dan kitab Ats Tsiqot, karangan Abu Hatim ibn Hibban Al Busty.
3. Kitab yang menerangkan tingkatan
penghafal-penghafal Hadis, seperti kitab karangan Ibnu Hajar Al `Asqolany dan
As Sayuthy.
4. Kitab yang menerangkan orang-orang
yang lemah-lemah saja, seperti Kitab Adl Dlu`afa karangan Al Bukhary dan Kitab
Adl Dlu`afa karangan Ibnul Jauzy (597 H).
c.
Ilmu
Fannil Mubhamat
-
Kitab
susunan Al Khatib Al Baghdady, yang kemudian kitab tersebut diringkas dan di
bersihkan oleh An Nawawy dalam Kitab Al Isyarat ila bayani Asmail Mubhamat.
d. Ilmu Mukhtalif al-Hadis
-
Kitab
Ikhtilaf al-Hadits, karangan Imam al-Syafi`i (150-204 H).
-
Kitab
Ta`wil Mukhtalif al-Hadits, karangan `Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah
al-Danuri (213-276 H).
-
Kitab
Musykilul Atsar, karangan Al-Imam Abu Ja`far ibn Muhammad al-Thahawi (239-321
H).
-
Kitab
Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, karangan Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan
(w. 406 H).
e.
Ilmu
`Ilalil Hadits
-
Kitab
Ilalil Hadits karangan Ibnu al-Madani (234 H), Imam Muslim (261 H), Ibn Abu
Hatim (237 H), Ali bin Umar Daruquthni (375 H), Muhammad bin Abdullah al-Hakim
(405 H), dan Ibn al-Jauzi (597 H).
f.
Ilmu
Gharibul-Hadits
-
Kitab
Al-Fa`iq fi Ghorib al-Hadits, karangan Zamakhsari.
-
Kitab
Al-Nihayat fi Ghorib al-Hadits wal-Atsar, karangan Ibn al-Atsir (606 H).
-
Kitab
Al-Dar al-Natsir, Talkhis Nihayah Ibnal Atsir, karangan As-Suyuthi.
g.
Ilmu
Nasikh dan Mansukh Hadis
-
Kitab
Nasikh wal Mansukh , karangan Ahmad bin Ishak ad-Dinari (318 H), Muhamad bin
Bahr al-Ashbahani (322 H), Wahbatullah bin Salamah (410 H).
-
Kitab
Al-I`tibar fi al nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karangan Abu Bakr Muhammad
ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani (584 H).
h.
Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits
- Kitab karangan Abu Hafsh al-Akbari
(380-456 H).
-
Kitab
Al-Bayan wa al-Ta`rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif, karangan Ibn Hamzahal
Husaini al-Dimasyqi (1054-1120 H).
i.
Ilmu
Mushthalah Ahli Hadits
-
Kitab
Taujihun Nadhar fi Ushulil Atsar, karangan asy Syaikh Thahir Al Jaza-iry.
-
Kitab
Qawa`idul Tahdiets, karangan Allamah Jamaluddien Al Qasimy.
MATERI
KEENAM
HADIS DITINJAU
DARI KUANTITAS SANADNYA
Dalam mengungkapkan pembagian hadis dari segi kuantitas sanadnya maka
para ulama hadis (Muhhaddisin) membaginya
menjadi dua macam :
1. Hadis Mutawatir
a. Pengertian
Kata mutawatir menurut lughat ialah
al-mutatabi` yang berarti yang datang kemudian, beriring-iringan atau
berturut-turut satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah
ا لّذ ي رواه جمع كثير لا يمكن توا
طؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاءالسّند و كان مستندهم الحسّ
Arti: “hadits
yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada
pancaindera”.
Berdasarkan defenisi di atas
dapat kita pahami bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang bersifat indrawi yang
diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara
tradisi dan akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan memalsukan
hadis.
b. Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
1. Diriwayatkan oleh
sejumlah orang banyak
Bilangan para perawi hadis harus mencapai jumlah yang
menurut tradisi mustahil untuk besepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat untuk untuk berdusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. hal tersebut diqiyaskan dengan
jumalah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi` menentukan minimal 5 orang. hal ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi
yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Sebagian ulama
menetapkan 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mu`min
yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (
Q.S Al-Anfal :65)
2. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang
pada tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah
banyak tersebut hanya pada sebagian
sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir
tetapi dinamakan ahad. Persamaan
jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlahya, mungkin saja jumlahnya
berbeda namun nilainya sama. Misalnya,
pada awal tingkatan 10 orang, tingkatan berikutnya 20 orang, 40 orang dan
seterusnya. Jumlah seperti ini tetap dinamakan sama dan tergolong mutawatir.
3. Mustahil bersepakat untuk berbohong
Misalnya para
perawi dalam sanad itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda baik Negara,
jenis dan pendapat yang berbeda pula. Sehingga dengan jumlah seperti ini secara
logika mustahil terjadi adanya kesepakatan untuk berbohong dan memalsukan
hadis. Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan
jaman sekarang ini, di samping kejujuran, dengan daya memori mereka yang masih
handal sehingga sangat sulit besepakat untuk berbohong dalam suatu periwayatan.
Salah satu
alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah
banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena masih memungkinkan untuk
bersepakat berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia sekarang dimana
kejujuran tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi hal itu berada dalam
bingkai politik dan lain-lain. Oleh sebab itu sehingga para pengingkar sunnah
menolaknya, karena sekalipun sudah mencapai jumlah yang banyak tetapi masih
memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk berbohong.
4. Sandaran berita itu pada panca indera.
Yang
dimaksudsandaran panca indera adalah berita tersebut didengar atau dilihat oleh
pemberitanya, tidak disandarkan pada logika atau akal sebagaimana sifat barunya
alam, berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah. Baru artinya
sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Sehingga apabila hadis
itu logis atau tidak inderawi. Sandaran berita pada panca indera misalnya
ungkapan:
Sami`na (kami mendengar) dari Rasulullah bersabda
begini
Ra`aina (kami melihat
) Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
c. Hukum Hadits
Mutawatir
Hadis mutawatir
memberikan fadah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat
sesuatu yang diberitahukan karena ia memberikan keyakinan yang qat`i (pasti)
dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sdikitpun bahwa Rasulullah saw, betul-betul menyabdakan atau mengerjakan
sesuatu seprti yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan
dan kedhabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas atau jumlah
rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat
untuk berbohong. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadis
mutawatir.Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama tentang keyakinan faedah
hadis mutawatir ini. Al-Hafidz mengatakan: khabar mutawatir member faedah dharuri, seseorang harus menerima dan
tidak apat menolaknya.
Seseorang yang
mengingkari ilmu dharuri yang
dihasilkan dengan periwayatan mutawatir sama halnya dengan mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan
penglibatan panca indera. Karena dengan jumalah banyak perawi yang tidak
memungkinkan sepakat untuk berbohong itu sudah cukup dijadikan alat untuk
mencapai tujuan akhir atau untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu hadis yang
merupakan sumber syari`ah Islam. Oleh karena itu, penelitian sifat-sifat perawi
mutawatir tidak diperlukan sebagaimana hadis
Ahad.
d. Macam-macam
Hadits Mutawatir
Para ulama hadis
membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawidan mutawatir amali.
1. Mutawatir Lafzhi
Mutawatir lafzhi menurut Nur Ad-Din Atsar adalah:
“Hadis yang mutawatir dalam satu
lafadh”.
Sedangkan menurut Muhammad At-Tahhan:
ماتواترلفظه ومعناه
“Hadis yang mutawatir lafadh dan
ma`nanya”.
Dan menurut Tawjih An-Nadzar adalah:
“ Hadis yang sesuai lafal para
perawinya, baik menggunakan satu lafal atau lafal lain yang sama makna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas”.
Contoh mutawatir lafzhi :
من
كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار
“ Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api neraka”.(HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmizi, An-Nasa`i, dan Abu Daud)
2. Mutawatir Ma`nawi
Sebagian ulama
mendefinisikannya sebagai berikut:
ما اجتلفوا في
لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كليّ
Hadis yang
berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu makna yang umum.
Dari
defenisi di atas, maka mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir pada makna,
yaitu beberapa riwayat yang berlainan tetapi memiliki makna yang sama atau satu
tujuan. Misalnya, Hatim diriwayatkania memberi seseorang seekor unta,
periwayatan lain ia memberi seekor kuda dan riwayat lain pula ia memberi hadiah
dinar. Maka disimpulkan makna periwayatannya bahwa ia seorang dermawan.
3. Mutawatir Amali
Sebagian
ulama memberikan defenisi mutawatir amali
sebagai berikut:
ما علم من الدّ ين با لضرورة وتواتر
بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم فعله أو أمر به أو غير ذلك
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari
agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw. Mengerjakannya
atau menyuruhnya dan atau selain itu”.
Dengan
demikian hadis mutawatir amali adalah
hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan dan
ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan contoh pada
generas-generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.
Kitab-kitab tentang hadis mutawatir antara lain:
·
Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
·
Qahtful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
·
Al-La`ali
Al-Mutanatsirah filAhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
·
NazhmulMutanatsirahminal
Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin
Ja`far Al-Kittani
2. Hadis Ãhãd
a. Pengertian
Ãhãd merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal.
Sedangkan menurut istilah menurut ulama Hadis Aahaad adalah
الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواءٌ
كان المخبر واحدا أواثنين أو ثلاثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من الأعدادالّتي
لاتشعر بأنّ اخبر دخل بها في خبرالمتواتر.
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak
pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua,
tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi
pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar
mutawatir”.
Dengan pengertian di atas sehingga hadis aahaad member faedah ilmu Nazhari, artinya ilmu yang diperlukan
penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit
memiliki sifat-sifat kreadibilitas yang mampu dipertanggungjawabkan atau tidak.
Hadis inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah apakah para perawinya adil atau tidak,
dhabith atau tidak, sanadnyabersambung atau tidak, sehingga dapat menentukan
tingkat kualitas suatu hadis apakah ia
shahih, hasan atau dha`if.
b. Pembagian
Hadits Ahad
Hadis Aahaad terbagi
menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan
Gharib.
a. Hadis Masyhur
Masyhur menurut
bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam
yaitu:
1. Masyhur Ishthilaahi.
“Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan (tabaqaqh) sanad dan belum
mencapai tingkat mutawatir”.
Contoh hadis :
“ sesungguhnya Allah tidak akan
mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, tetapi akan
melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para ulama, sehingga apabila tidak
terdapat serang yang alim maka orang
yang bodoh akan dijaikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari
ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu Amru, Aisyah
dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur dikalangan sahabat, karena
terdapat tiga orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian
lebih dari tiga orang tapi tidak mencapai tingkat mtawatir.
2. Masyhur Ghayr Ishthilahi
Hadis MasyhurGhayrIshthilahiadalah hadis yang
popular atau terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun
jumlah perawinyatiak mencapai tiga orang atau lebih.
b. Hadis `Aziz
`Aziz
secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat. Hadis diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya.
Dari segi istilah
terdapat beberapa defenisi antara lain adalah
“ hadis yang tidak diriwayatkan
kurang daridua orang disemua tingkatan (tabaqah) sanad”.
contoh hadis `aziz:
لايوءمن أحدكم حتىّ أكون أحبّ إليه من نفسه من ولده ووالده
والنّاس أجمعين (متفق عليه)
“hadis diriwayatkan dari Abu
Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: tidak beriman salah seorang
diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan
manusia semuanya”.(HR.Muttafaq `Alaih)
Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu
Hurairah.Kemudian Anas memberitakan kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abdul
Aziz ibnShuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada dua orang yaitu Syu`bah dan
Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula kepada dua orang yaitu Ismail ibn
Ulaiyah dan Abdul Waris.
c. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa
berarti “menyendiri” atau “ jauh dari kerabatnya”. menurut istilah
ialah “ hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”.
Ibnu Hajar mendefenisikan sebagai berikut:
“ hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana
saja penyendiriansanaditu terjadi”.
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi dua
macam:
a). Gharib Mutlak
Gharib mutlak yaitu “ hadis yang garabah-nya
(perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung
sanadyaitu seorang sahabat”.
Pokok sanad atau
disebut asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam
periwayatan hadis meskipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad. Contoh hadis
Nabi saw.
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى
ومسلم وغرهما)
“ Sesungguhnya amal itu tergantung
dari niatnya,…….”
Hadis ini hanya
diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saja. Kemudian diriwayatkan oleh
Al-Qamah bin Waqqash kemudian Muhammad bin Ibrahim. Dengan demikian hadis
tersebut gharib mutlak karena hanya
Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari kalangan sahabat.
b). Gharib Nisbi
Gharib nisbi yaitu apabila keghariban
(perawi satu orang ) terjadi pada pertengahan sanad bukan pada awal sanadnya.
Maksudnya satu hadis yang diriwayatkanoleh lebih dari satu orang perawi pada
asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu
orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Adapun berbagai
kegharibanatau ketersendirian yang dianggap sebagai gharibnisbi adalah sebagai
beikut:
·
Seorang perawi terpercaya secara sendiriran
meriwayatkan hadis (muqayyad bi
ats-tsiqah)
·
Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara
sendiriran dari seorang perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
·
Penduduk negeri atau penduduk daerah secara
tersendiri meriwayatkan hadis (muqayyad
bi al-balad).
HADIS DITINJAU
DARI KUALITASNYA
Bila ditinjau dari segi
kualitasnya, maka hadis terbagi menjadi dua macam:
1. Hadis Maqbul
Maqbul
menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq (
yang dibenarkan atau diterima),sedangkan menurut istilah adalah
Artinya“
hadis yang unggul pembenaran
pemberitanya”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis untuk menjadi hadis yang maqbul, yaitu bila
sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan
matan-nya tidak syadzdan tidak ber-illat.
Dengan demikian hadis maqbul adalah hadis
yang dapat diterima atau pada dasarnya
dapat dijadikan hujjah dan panduan pengamalan syari`at. Berdasarkan penjelasan
di atas maka para ulama membagi hadis
maqbul menjadi dua bagian utama yaitu; hadis shahih dan hasan.
a. Hadis shahih
Sahih menurut bahasa berarti sehat (lawan sakit). Kata sahih
juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan sah, benar, sempurna, sehat (tiada celanya).
Sedangkan menurut istilah dikalangan ulama
ialah
ما اتّصل سنده
با لعد ول الضّا بطين من غير شذ وذ ولاعلة
“hadis
yang bersambungsanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit (kuat daya
ingatan), selamat dari keganjalan (syadzdz) dan cacat (illat)”
Dari defenisi
di atas dapat disimpulakan, bahwa hadis shahih memiliki lima kreteria
persyaratan sebagai berikut:
1. Bersambungnya
sanad
Yaitu, setiap
perawi telah mengambil hadis secara langsung
perawi sebelumnya dari permulaan sampai akhir sanad.
2. Perawinya adil:
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya
terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa
melaksanakan perintah agama dan mninggalakan larangannya, dan senantiasa berakhlak baik dalam segalah
tingkah lakunya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam
periwayatansanad-hadis adalah bahwa semuah perawinya disamping harus islam dan
balig, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Senantiasa
melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b) Senantiasa
menjauhi dosa kecil.
c) Senantiasa
memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.
3. Perawinya
dhabit
Kata dhabit
menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat. Seseorang dikatakan dhabit apabila
ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang
dhabit adalah mereka yang kuat
hapalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu
menyampaiakan hapalan tersebut manakalah diperlukan.
Yang dicakup
dalam pengertian dhabit pada periwayatan disini terdiri atas dua kategori,
yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi Al kitab yang dimaksud dengan dhabit fi
As-sadr ialah terpeliharanya periwayatan
dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkan kepada orang
lain; sedangkan dhabitfil Al-kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.
4. Tidak syadzdz
Menurut Imam Iyafi’i Yang dimaksud dengan syadz atau
syudzudz (bentuk jamak dari syadzdz ) disini ialah suatu hadis yang
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh perawi lain yang lebi kuat
atau lebih tsiqah. Pengertian inilah yang paling banyak diikuti ulama hadis
lainya.
Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa
hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan
dengan hadis lain yang lebi kuat atau lebitsiqah.
5. Tidak berillat
Kata
illat bentuk jamaknya adalah Ilal
atau Al-Ilal yang menurut bahasa berarti cacat, penyakit,
keburukan, dan kesalahan
baca. Dengan pengertian ini yang
disebut hadis ber-illat adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.
Menurut istilah,
illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau
samar-samar, sehingga dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di
sini karena jika dilihat dari shahihnya,
hadis tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada hadis
tersebut, mengakibatkan
nilai kualitasnya menjadi
tidak sahih, dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak
berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau
keragu-raguan.
Illat hadis dapat terjadi baik pada
sanad maupun pada matan atau pada keduanya
secara bersama - sama. Namun
demikian, illat yang paling
banyak, yaitu yang terjadi pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
Para ulama ahli hadis membagi
membagi hadis sahih menjadi dua bagian, Yaitu sahihlidzatihdan sahih li
ghairih.Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hapalan atau
ingatan perawinya. Pada hadis
shahih lighairih ingatan perawinya kurang sempurna.
Yang
dimaksud dengan sahih li dzatihi,
ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan hadis sahih
khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi. Definisi hadis
sahihlidzatih:
“Hadits shahih
Lidzatihi yaitu hadits yang bersambungsanadnya dengan penukilan perawi yang
‘adil dan dhabith dari yang semisalnya sampai akhir sanad tersebut serta hadits
tersebut bukan hadits yang syadz dan bukan hadits yang mu’allal (cacat)”.
contoh hadis sahihlighairih adalah
hadis riwayat turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr
Artinya “ seandainya tidak memberatkan ummatku,niscaya akan
kuperintahkanbersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”
Ibnuumar ash-shalah menyatakan bahwa
Muhammad bi Amr terkenal sebagai orang yang
jujur, tetapi kedhabitannya kurang sempurna sehingga hadis riwayatnya
hanya mencapai tingkat hasan.
b.
Tingkatan Hadis Shahih
Perlu
diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya
kepada ke-dhabit-an dan keadilanpara perowinya. Berdasarkan martabat
seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
a) Pertama,
ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya.sepertiperiwayatansanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla
(mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b) Kedua,
ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya
dibawah tingkat pertama diatas. Seperti periwayatansanad dari Hammad bin
Salamah dari Tsabit dari Anas.
c) Ketiga.
ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. sepertiperiwayatanSuhail bin Abu Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan
shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:
a)
Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq
‘alaih),
b)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis
yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e).Hadis
yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f).
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) Hadis
yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti IbnuKhuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
Kitab-kitab
hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
a)
Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
b)
Shahih Muslim (w. 261 H).
c)
ShahihIbnuKhuzaimah (w. 311 H).
d)
Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H).
e)
Mustadrok Al-hakim (w. 405).
f)
ShahihIbn As-Sakan.
c.
Hadis
Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal,
yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara
hadis shahih dan hadisdha’if, dan juga karena sebagian ulama
mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
a)
definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat
keluarnya, dan telah mashurrawi-rawisanadnya, dan kepadanya tempat berputar
kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh
umumnya fukaha’
b) definisiIbnuHajar:
beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna
ke-dhabit-annya, bersambungsanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz
(janggal) maka dia adalah hadis shahihli-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya
maka dia adalah hadis hasan lidszatihi.
Kriteria
hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an
perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi
hadis hasan lebih unggul.
1. Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi
dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih
dan hasanli-ghairih;
a). Hasan
Li-Dzatih
Hadis
hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis hasan yang
telah ditentukan.pengertian hadis hasanli-dzatih sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya.
b). Hasan Li-Ghairih
Adapun
Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa,
banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif
yang karena rawinya buruk hapalannya (su’ru al-hifdzih),tidak dikenal
identitasnnya (mastur)dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya
menjadi hasan li ghairihi dibantu oleh hadis–hadis lain yang semisal dan
semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
Contoh hadis hasan:
Artinya
; Telah menceritakan kepda kami yahya
bin Al-tamimi dan qutaibah bin said –ucapan yahya- telah berkata qutaibah
kepada kami dan telah berkata yahya bahwasanya Ja’far bin Sulaiman memberitakan kepada kami dari bapaknya Imran
Al-Jauan dari bapaknya Abu Bakar bin Abdillah bin Qaeis dari bapaknya ;saya
perna mendengar bapak saya berkata, ketika itu sedang berhadapan dengan musuh,
bahwasanya Rasulullah SAW ; sesungguhnya pintu-pintu surga dibawah
kilatanpedang,” lalu berdirilah seseorang yang berpakaian compang-camping
seraya berkata; “ wahai abu musa apakah anda mendengar Rasulullah bersabda
seperti yang anda ucapkan ini “ya” lalu orang itu kembali kepadaa
sahabat-sahabatnya seraya berkata “aku mengucapkan salam kepada kalian kemudian
orang ini memecahkan sarung pedangnya, lalu membuangnya dan dengan serta merta
dia pergi menuju musuh dengan membawa pedangnya terus bertempur hingga gugur.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi
sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah
haditsnya hasan.
2. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih,
meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam
beramal. Paraulama hadis, ulama ushulfiqih, dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadis hasan.
3.
Kitab-kitab
hadis hasan
Ulama
yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih, hadis hasan,
hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam At-Tirmitdzi
memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang
menghimpun hadis hasan adalah;
a)
Sunan At-tirmitdzi
b)
Sunan Abu Daud
c)
Sunan Ad-Dar Quthny
2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
Sedangkan
menurut istilah hadis mardud adalah “hadis yang tidak unggul pembenaran
pemberitanya”.
Penolakan hadis
ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan yang ditetapkan
para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti perawi harus bertemu langsung
dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut matan seperti
isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
Hadis mardud
tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan pembenaran berita dalam hadis
tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak wajib di amalkan,
sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan wajib di amalkan. Secara umum Hadis
mardud adalah hadis dha’if (lemah) .
a. Hadis Dho`if
Pengertian hadits dhaif Secara
bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah lawan dari Qawi (yang kuat).Para
ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW.
Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun
para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits
dhaifialah hadits yang tidak memuat atau
menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.
b. Kehujahan Hadits dhaif
Hadis dhaif pada dasarnya adalah
tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan, Namun para ulama melakukan pengkajian
terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi
perbedaan pendapat diantara mereka:
1.
Para ulama
berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan
masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib maupun dalam
fadha’ilula’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti
Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh IbnuArabi
ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab
Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
2.
Pendapat
kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif
secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama.
Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi
pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis
shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
3.
Sebagian
ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan catatan
sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam
targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan
fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta
haram, mereka tidak membolehkannya.
Ulama-ulama
yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah amal, menyaratkan kebolehan
mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a)
Kelemahan
hadis itu tidak seberapa
b)
Apa yang
ditunjukan hadis itu juga ditunjukan oleh dasar lain yang dapat dipegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang
suda dibenarkan.
c)
Jangna
diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadis itu benar dari Nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan nash sama
sekali.
syukron
BalasHapusterima kasih,sangat membantu
BalasHapus:)
BalasHapusijin donload ka untuk tugas perkuliahan
BalasHapusmakasih ka semoga menjadi amal baik kaka