Rabu, 09 April 2014

MATERI ULUMUL HADIS

MATERI PERTAMA
A.  PENGERTIAN HADIS
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Jumhur ulama menyamakan arti hadis dan sunnah, atau dengan kata lain keduanya merupakan kata sinonim (muradif). Hanya saja istilah hadis lebih sering digunakan oleh ulama hadis. Sedangkan ulama ushul fiqh lebih banyak menggunakan istilah sunnah. Nabi sendiri menamakan ucapannya dengan sebutan al-hadis untuk membedakan antara ucapan yang berasal dari beliau sendiri dengan yang lain. Berikut ini uraian dari beberapa istilah di atas:
1.      Hadis
Kata hadis secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid (baru, antonim kata qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat).
Sedangkan secara terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
2.      Sunnah
Sunnah secara etimologi adalah perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui baik yang tercela maupun yang terpuji. Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
a.       Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah sunnah.
b.      Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat syariat) di samping Allah. Hanya saja ketika ulama usul mengucapkan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja.
c.        Ulama fiqh mendefinisikan sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang Nabi saw sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatannya mengandung hukum syara’.
3.      Khabar dan Atsar
Pengertian khabar dan atsar menurut ulama hadis adalah sama dengan hadis. Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya sesuatu yang berasal dari Nabi adalah hadis. Sedangkan yang berasal dari selain Nabi disebut khabar. Para fuqaha Khurasan menyebut hadis mawquf dengan khabar dan hadis maqthu‘ dengan atsar.
Menurut arti bahasa khabar ialah berita. Jadi, khabar memiliki arti yang hampir sama dengan hadis, karena tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Secara terminologi khabar  ada beberapa pendapat, di antaranya "hadis yang disandarkan pada sahabat", atau "segala berita yang diterima dari selain dari Nabi". Untuk terminologi khabar, peneliti lebih sepakat dengan definisi yang pertama - sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama Khurasan- yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat (mawquf). Hal ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara khabar dengan hadis atau sunnah.
Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadis (2). Atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat. Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat  disebut dengan atsar merupakan hal yang wajar.
Dari paparan tentang definisi hadis, sunnah, khabar dan atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh muhadditsin terkait ruang lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadis atau sunnah memberikan pengertian bahwa rawi mengutip hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw (marfu‘). Sedangkan khabar tidak hanya mencakup hadis marfu‘ saja tetapi juga mengakomodasi hadis mawquf (rawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi‘in (maqtu‘) saja. Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih diidentikkan hanya pada hadis mawquf atau maqtu‘ saja.
Untuk memudahkan pengidentifikasian hadis, maka akan lebih mudah apabila istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga menurut hemat peneliti, hadis dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadis marfu‘, khabar untuk hadis mawquf, dan atsar untuk hadis maqthu‘.

B.     Struktur Hadits (Sanad, Matan, dan Mukharrij)
1. Pengertian Sanad Hadits
Secara harfiah kata sanad berarti sandaran, pegangan (mu’tamad). Sedangkan definisi terminologisnya ada dua sebagai berikut:
a. Mata rantai orang-orang yang menyampaikan matan.
b. Jalan penghubung matan, (yang) nama-nama perawinya tersusun.
Jadi, sederet nama-nama yang mengantarkan sebuah hadits itulah yang dinamakan sanad, atau dengan sebutan lain sanad hadist.
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam  bukunya  (kitab  hadits)  hingga  mencapai Rasulullah SAW. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari).
Maka  sanad  hadits bersangkutan adalah  Al-Bukhari  >Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW.
Sebuah  hadits  dapat  memiliki  beberapa  sanad  dengan  jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
- Keutuhan sanadnya
- Jumlahnya
- Perawi akhirnya
Sebenarnya,  penggunaan  sanad  sudah  dikenal  sejak  sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu  pengetahuan  lainnya.  Akan  tetapi  mayoritas  penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
2. Isnad, Musnid, dan Musnad
a. Isnad
            Dari segi bahasa, isnad berarti mengangkat hadist hingga pada orang yang mengucapkannya. Isnad merupakan bentuk atau proses. Sedangkan sanad adalah keadaannya. Namun demikian, sebagian dari ahli hadits menyatakan bahwa kata isnad bermakna sama dengan kata sanad, yakni merupakan jaring periwayatan hadits. Menurut Ibn al-Mubarak, isnad termasuk bagian dari agama, seandainya tidak ada isnad niscaya orang akan berbicara sembarang, menurut apa maunya.
b. Musnid
Musnid adalah  orang  yang  meriwayatkan  hadits  dengan sanadnya,  baik  mempunyai  ilmunya  maupun  tidak  kecuali  ia mengisnadkan hadits seorang diri.
c. Musnad
Adapun musnad adalah materi hadits yang diisnadkan. Dalam pengertian istilah, kata musnad mempunyai tiga makna, yaitu:
1) Kitab yang menghimpun hadits sistem periwayatan masing-masing shahabat, misalnya Musnad Imam Ahmad;
2) Hadits marfu’ yang muttashil sanadnya, maka hadits yang demikian    dinamakan hadits musnad;
3) Bermakna sanad tetapi dalam bentuk Mashdar Mim.

2.    Matan Hadits
Secara harfiyah matan berasal dari bahasa Arab matn yang berarti apa saja yang menonjol dari (permukaan) bumi, berarti juga sesuatu yang tampak jelas, menonjol, punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas, matnul-ard berarti lapisan luar/kulit bumi, dan yang berarti kuat/kokoh.
Sedangkan menurut peristilahan Ilmu Hadits, al-Badr bin Jama’ahmemberikan batasan pengertian matan yakni:
-       Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad.
-       Matan  adalah  kata-kata  (redaksi)  hadits  yang  dapat  dipahami maknanya.
Matan hadits juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat ataupun  tabi’in.  Baik  isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi SAW.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks bagi hadist. Dari contoh sebelumnya makamatan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad  atau bukan,  matan  hadist  itu  sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang atau tidak).
Selama sejarah kehaditsan, konsep ajaran yang dibawa oleh Rasul hampir semuanya dinarasikan/dibahasakan kembali oleh para sahabat dengan Faqahah dan skill kebahasaan mereka masing-masing, tak terkecuali hadits qauli yang selanjutnya diteruskan oleh generasi sesudahnya dengan kapasitas yang beragam dan sangat personal. Sehingga dapat dimaklumi jika lafazh yang merumuskan konsep ajaran tersebut banyak memiliki redaksi yang berbeda-beda sebagaimana terdokumentasikan dalam berbagai kitab koleksi dan kadang lafazhnya tidak fasih (rakikul-lafdh). Seperti itulah riwayah bil-ma’na. Sehingga merupakan kesalahan yang fatal jika seseorang mengkulturkan lafadh matan dan menganggapnya sakral. Karena hadits sangatlah berbeda dengan al-Qur’an yang qath’iyyuts-tsubut sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dalam surat al-Hijr ayat 9 tentang keterjaminan otentisitas al-Qur’an baik dari segi teks maupun substansi doktrinalnya.
Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadits senantiasa berada pada ujung  terakhir  setelah penyebutan sanad. Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadits dari nara sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal-usul fakta kesejarahan teks hadits.

3.    Mukharrij
Makna harfiah kata mukharrij yang berasal dari kata kharraja adalah orang yang mengeluarkan. Makna tersebut juga bisa didatangkan dari kata akhraja dengan isin fa’ilnya mukhrij. Menurut para ahli hadits, yang dimaksud dengan mukharrij adalah sebagai berikut: (Mukhrij atau mukharrij: orang yang berperan dalam pengumpulan hadits). Dapat juga didefinisikan Mukharrijul Hadits adalah orang yang menyebutkan perawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits/al-muhaddits yang memiliki keahlian tentang proses perjalanan hadits serta banyak mengetahui nama-nama perawi, matann-matan dengan jalur-jalur periwayatannya, dan kelemahan hadits.
            Siapapun dapat disebut sebagai mukharrij ketika ia menginformasikan sebuah hadits baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan menyertakan sanadnya secara lengkap sebagai bukti yang dapat dipertanggnung jawabkan tentang kesejarahan transmisi hadits. Yang pasti, mukharrij merupakan perwi terakhir (orang yang terakhir kali menginformasikan ) dalam silsilah mata rantai sanad.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apa yang dimaksud denganmukharrij atau mukhrij adalah perawi hadits (rawi), atau orang-orang yang telah berhasil menyusun kitab berupa kumpulan hadits, seperti al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, dsb. Dalam contoh hadits di atas al-Bukhari adalah seorang mukharrij / mukhrij / rawi bagi sebuah hadits.
Setiap orang yang bergelut dalam bidang hadits dapat digolongkan menjadi beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:
1. Al-Talib; adalah orang yang sedang belajar hadits.
2. Al-Muhadditsun; adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadits dari segi riwayah dan dirayah.
3. Al-Hafidz; adalah orang yang hafal minimal 100.000 hadits.
4. Al-Hujjah; adalah orang yang hafal minimal 300.000 hadits.
5. Al-Hakim; adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara keseluruhan baik ilmu maupun mushthalahul hadits.
6. Amirul Mu’minin fil hadits; ini adalah tingkatan yang paling tinngi.
Menurut syeikh Fathuddin bin Sayyid al-Naas, al-muhaddits pada zaman sekarang adalah orang yang bergelut/sibuk mempelajari hadits baik riwayah maupun dirayah, mengkombinasikan perawinya dengan mempelajari para perawi yang semasa dengan perawi lain sampai mendalam, sehingga ia mampu mengetahui guru dan gurunya guru perawi sampai seterusnya.

D. Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
            Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau tidak shahih untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
            Para ahli hadits sangat berhati-hati dalm menerima suatu hadits, kecuali apabila mengenal dari siapa perawi hadits tersebut menerima hadits tersebut dan sumber yang disebutkan benar-benar dapat dipercaya.
            Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., periwayatan hadits diawasi secara hati-hati dan suatu hadits tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Ali tidak menerima hadits sebelum orang itu disumpah.
            Perhatian sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Maka terpeliharalah sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta.
            Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW dengan bersambung-sambung para perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah, khususnya orang islam.
















MATERI KEDUA
A.    Dalil Kehujjahan Hadist
Ada beberapa dalil yang menunjukan atas kehujjahan hadist dijadikan sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1.      Dalil Al-Qur’an.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang yang memerintahkan untuk patuh kepada rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujjah, diantaranya adalah:
a.       Surah An-Nisa’:136
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya ..............................”
b.      Surah Ali-Imran: 32
Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
c.       Surah At-Taghaabun: 12
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”

Beberapa ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnahnya.

2. Dalil hadis.
Hadis yang dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. “Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik)

b. Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
Rasull bertanya: “Bagaimana kamu menetapkan hukum bila dihadapkan kepadamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum?” Mu’az menjawab: “Saya akan menetapkan dengan kitab Allah SWT,” lalu Rasull bertanya: “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah?”
Mu’az menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah,”  Rasull bertanya lagi: “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah?”  Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.” Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.” (HR. Abu Daud dan Al-Tarmidzi)
c. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu sekalian denganya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)  Hadist-hadist diatas menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya apabila hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Orang yang tidak berpegang teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang yang sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah, dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
B.  Perdebatan Seputar Kehujjahan Hadist.
1.      Gerakan Ingkar Sunnah
Dewasa ini banyak orang atau golongan yang bermunculan yang berupaya mendasari sumber ajaran Islam itu semata-mata hanya kepada Al-qur’an. Sedangkan untuk sunnah/ hadist mereka tidak menempatkanya sebagai sumber ajaran agama Islam. Karena menurut mereka sunnah baru ada setelah 200 tahun sesudah Nabi wafat.
Orang-orang atau golongan ini terkenal dengan istilah ingkar sunnah, yaitu suatu paham yang timbul dari sebagian kecil kaum muslimin. Secara umum mereka melakukan ini hanya untuk mencari kepopuleran dalam masyarakat Islam.
Aliran-aliran ingkar sunnah dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ingkar sunnah mutlaq, yaitu mengingkari sunnah secara seluruhnya.
b. Ingkar sunnah Ba’dh As-sunnah, yaitu mengingkari sebagian dari sunnah.
c. Ingkar sunnah Bigharit Tariqi, yaitu mengingkari sunnah yang sanadnya tidak memenuhi dengan syarat-syarat yang mereka gariskan. Pada umumnya alasan-alasan para pengingkar sunnah adalah sebagai berikut: a. Menurut mereka, tugas Rasul adalah menyampaikan isi kandungan Al-qur’an/ wahyu dari Allah SWT yang telah diturunkan kepadanya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-qur’an yang akan menimbulkan hukum-hukum baru.
b. Menurut mereka Al-qur’an adalah firman yang telah lengkap isinya dan tidak diragukan lagi kandunganya, yang juga terdapat keterangan ayat yang kurang jelas, maka tidak dibutuhkan lagi sunnah untuk memperjelasnya.
Ditambah lagi, mereka menjadikan ayat-ayat berikut sebagai alasan keingkaran terhadap sunnah:
- “..............Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 122)
 - “...............Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”(QS. Al-A’am: 38) - “...................Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89) Dr. Ahmad Zaki dalam bukunya “Tsaurah Al Islam” mengatakan bahwa, hadist itu adalah suatu kedustaan, terutama bagi perawi-perawinya. Karena hadist itu adalah hal yang dibuat-buat oleh manusia setelah 200 tahun kematian Nabi. Ahmad Dien adalah seorang guru disekolah Islam Amritsan, dia memiliki pemikiran yang sangat cemerlang dalam mengkaji agama. Namun, ia hanya merujuk pada Al-qur’an semata sebagai satu-satunya dasar ajaran agama Islam. Baginya hadist bukanlah hujjah dalam agama, karna itu umat tidak boleh berpegang pada sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam.
Sedangkan menurut Ahmad khan, salah satu ahli Qur’an, menyatakan bahwa para ulama sangat ceroboh dan salah dalam penyaringan terhadap sanad dan matan hadist. Hadist yang dapat dijadikan sebagi hujjah adalah hadist yang diriwayatkan secara mutawatir, yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasull. Selain hadist yang dapat memenuhi syarat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

2. Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam
Menurut Imam malik ibn Anas, Al-qur’an itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima penjelasan dari sunnah. Al-qur’an menjelaskan syar’i secara kulit, sedangkan sunnah menjelaskan hukum-hukumnya secara terperinci. Kita memerlukan sunnah bukan karena dia adalah sebagi sumber hukum kedua, tapi karena dia menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an yang mujmal. Imam Syafi’i memandang Al-qur’an dan sunnah berada dalam satu martabat, bahkan baginya hanya keduanyalah yang menjadi sumber hukum Islam. Ia dengan tegas membantah kaum khawarij yang menolak kehujjahan sunnah. Sedangkan pandanganya terhadap hadist ahad, ia menyatakan bahwa hadist ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Menurut Imam Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:
- Rasulullah SAW adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh seorangpun menafsirkan Al-qur’an tanpa sunnah rasulullah SAW.
- Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran apabila tidak menemukan dalam sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi terutama tentang nuzulul Qur’an dan penjelasanya.

C.  Hubungan Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an
Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai firman Allah SWT:
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl:44)
Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam, diantaranya:

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu sebagai bayan Ta’kid dan bayan Tafsir.
Imam malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist terhadapm Al-qur’an, yaitu: Bayan Al-Taqrir, Bayan Al-Tafsir, Bayan Al-Tafshil, Bayan Al-Ba’ts, Bayan Al-Tasyri’. Sedangkan imam Syafi’i menyebutkan ada lima fungsi yaitu: Bayan Al-Tafshil, Bayan At-Takhshish, Bayan Al-Ta’yin, Bayan Al-Tasyri’, Bayan Al-Nasakh.
1.      Bayan Al-Taqrir. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh : “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185 Artinya: “..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185)
2.      Bayan Al-Tafsir. Yang dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.


FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl: 44.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish. Untuk lebih jelas berikut akan diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
1.      Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.
2.      Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.       Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
 Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh: 43)
b.      Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)
“Tangan  pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid  ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah )
c.       Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat  fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya. Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
3.      Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
 Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4.      Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث (رواه أحمد والأربعة الاالنسائ)
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An-Nasaai’i)
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....”
Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.





MATERI KETIGA
SEJARAH HADIS PRA MODIFIKASI
A.    Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :

Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.

Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriam dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:
  • Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
  • Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
  • Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
  • Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.

Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
  • Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
  • Ummahat Al-Mu’minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
  • Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.
  • Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
  • Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.

Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.
1.      Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
a.       Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
b.      Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
c.       Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
d.      Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada orang lain.

Aktifitas menulis hadist
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق
” tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak”.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
  1. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
  2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
  3. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.

B. Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
1.      Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

Sahabat dan Periwayatan Hadist
  • Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik

Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
  • Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist.
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.

Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
  • Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.

Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.
Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:
  1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
  2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
  3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

2. Hadist pada masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist.
Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu, masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.
Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.

Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.
Dari persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
MATERI KEEMPAT
PENGERTIAN KODIFIKASI
Yang dimaksud kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf.
Antara kodifikasi (tadwin) hadist dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan Muhammad Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadist Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadist, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadist dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadist. Sekiranya penghimpunan hadist itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadist sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.
Di samping itu, hadist Nabi SAW tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadist Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadist Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
Masa kodifikasi (tadwin) hadist terbagi dua, yaitu
Ø            Kodifikasi hadist yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy)
Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara
Ø            Kodifikasi hadist secara resmi (tadwin al-rasmiy).
Kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz.





ABAD KE II H DIWANUL HADIST
A.           PENGERTIAN DIWANUL HADIST
Mengutip dari kitab al Muhith al fairuz mengatakan bahwa : tadwin secara bahasa di terjemahkan dengan kumpulan shahifah ( mujtama’al shuhuf). Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri darilembaran-lembaranSedangkan secara makna luasnya adalah al jam’u (mengumpulkan / membukukan).
Apabila merujuk dari dua pengertian diatas dapat di simpulkan pentadwinan hadist dapat diartikan diwanul hadist, dalam bahasa Indonesia nya tadwin ini lebih umum di kenal dengan nama kodifikasi.
B.            KEADAAN HADIST ABAD KE II H
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H sebagai (Khalifah ke 8 dari Bani Umayyah  berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a.     Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.     Keingina beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.      Alasan tidak terkodifikasinya Hadits di zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
d.   Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits:
"Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarawan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertamakali mengodifikasikan  hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. Maka bangunlah ulama’-ulama’ pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary ( w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad ke II H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.

C.           CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG DIKODIFIKASIKAN PADA ABAD KE-II H
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi semata–semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash Hadits menurut kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian, karya ulama abad II H ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu', dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif.
sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad kedua antara lain :
1.      Al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik pada tahun ( 93 – 179 H ) selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadist telah disusunnya kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada priode ini. Dan buku ini di tulis antara tahun 130 H sampai 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur. jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits.
*              600 Hadistnya Marfu’ ( terangkat sampai kepada Nabi SAW )
*              222 Hadistnya Mursal ( adanya perawi sahabat yang di gugurkan )
*              617 Hadistnya Mauquf ( terhenti sampai kepada tabi’in )
*              275 Sisanya adalah ucapan Tabi’in.
kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah. sebagaimana ia di isyaratkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan kitab "Tanwiru al-Hawalik", dan al-Khaththaby mengikhtisharnya dengan kitab yang beranama "Mukhtahsaru al-Khaththaby"
2.     Musnadu al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, Muhammad bin Idris Asy – Syafi’i ( 150 – 204 H ), didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada dalam kitab al-Umm.
3.     Mukhtalifu al-Hadits, karya Imam ( 150 – 204 H ), beliau menjelaskan dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi antara satu dengan yang lain.
4.      Al – Musnad oleh Imam Abu Hanifah An- Nu’man ( Wafat 150 H )
5.      Al – Musnad oleh Imam Ali Ridha Al – Katsin ( 148 – 203 H ).
6.      Al – Jami’ oleh A Abdulrazaq Al – Hamam Ash Shan’ani ( Wafat 311 H )
7.      Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
8.      Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud ( 94 – 175 H ).
11.  Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 – 190 H ).
12.  As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman Bin Amr Al-Auza’I ( wafat 157 H ).
13.   As-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa Al – Sadi .
Semua kitab-kitab hadist yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu no 1 sd 5.



PERIODE PENYARINGAN AL-HADITS ABAD KE III H
Pada abad ke III H ini para ulama’ hadist memfokuskan pengkodifikasian hadist pada beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukakan pada masalah sebelumya bahwa pembukuan hadist belum terpisah – pisah anatara hadist yang saheh, hasan, mauquf dan maudhu’.
      Beberapa langkah untuk melestarikan hadist pada abad ke III H ini adalah sebagai berikut :
v     Perlawatan kedaerah – daerah para perawi hadist yang jauh dari pusat kota
Contohnya ;
Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih 8 kota di timur tengah seperti Mekah, Madinah, Bagdad Mesir dll.
v     Pengklafikasian hadist marfu’, mauquf dan maudlu’( palsu )
v     Hadist Nabi, Asar Sahabat, dan Aqwal ( Ucapan ) Tabi’in dikategorikan, dipisah dan dibedakan 
v     Riwayat Maqbulah ( di terima ) dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke II diperiksa kembali dan di tashih ( diautentikasi).
v     Selama priode ini, bukan hanya riwayat yang di kumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadist ( lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah di tulis.
v     Penyeleksian dan pemilihan hadist kepada shahih, hasan dan dhaif.
Contoh :
·        Penyaringan Hadist Sahih oleh imam ahli hadist Ishaq Bin Rawahih ( Gurunya Imam Bukhari )
·        Penyusunan kitab Saheh Bukhari
Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka. Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu al-Sittah" yaitu :
1.      Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih. karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Beliau adalah Amir al-Mukminin dalam hadist beliau bernama Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin ibrohim Bin Mughirah bin Bardizbah Beliau dilahirkan 13 Syawal 194 H, wafat malam idul fitri tahun 256 H. Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya dia dijuluki Imam al-Muhaddisin. Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082  hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'. namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari. Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
2.      Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).
Nama lengkap beliau adalah Imam Abdul Husain bin al–Hajjaj bin Muslim. Dia dilahirkan Naisabur tahun 204 H wafat tahun 261 H. Beliau adalah imam hadits kedua setelah Imam Bukhari. Menurut sebagian ulama Maghribi dan Abu Muhammad bin Hazm Al-Dzahiri kitab yang dikarang oleh beliau lebih utama dibandingkan dengan Sahih Bukhari. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang membuat kitab Sahih Muslim lebih diutamakan antara lain:
1.   Karena kebagusan susunannya yang teratur.
2.  Hadits yang teriwayatkannya sejalan dan dalam satu tema di kumpulkan dalam satu tempat, tanpa memotong hadits ke dalam bab lain.
3.   Hadits yang diriwayatkan hanya hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan muallaq.
Jika mereka mengutamakan Sahih Muslim karena beberapa hal berdasarkan syarat-syarat keshahihan hadits kami tidak sependapat. Walaupun begitu kitab Sahih Bukhori dan Muslim merupakan kitab paling sahih yang pernah ditulis oleh imam hadits. Pengarangnya telah memberikan sumbangan yang luar biasa besarnya kepada agama. Oleh karena itu kita patut bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak dipungkiri lagi.
3.     Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud
Nama lengkap beliau adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq Basyir bin Syidad bin Amir al-Sajastani, dia dilahirkan tahun 202 H wafat 275 H. Hadits yang ditulis oleh beliau tidak hanya memasukkan hadits sahih saja, akan tetapi memasukkan hadits hasan dan dha’if. Dalam kitab yang dikarang oleh beliau terkenal sebagai kitab Hakim .
4.     Sunan al-Tirmidzi, Karangan Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi. Beliau lahir pada malam senin 13 Rajab tahun 209 H dan wafat tahun 279 H. Metode yang digunakan beliau dalam menulis hadits adalah apapun yang diamalkan oleh ahli fiqh maka oleh beliau diriwayatkan. Oleh karena itu beliau meriwayatkan hadits baik yang hasan, dhoif, ghorib dan muallal dengan disertai penjelasan sesuai dengan derajad haditsnya.
5.     Sunan Nasa'i, karangan Ahmad Bin Sya’ban Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy. Beliau lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H dalam kitab beliau yang bernama Sunan Nasai hampir sama dengan kitab hadits bukhori dan Muslim dengan artian yang ditulis di dalamnya adalah hadits yang sahih meskipun ada sedikit hadits yang dha’if.
6.     Sunan Ibnu Majah, karangan Muhammad Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. dari kelima kitab hadits kitab karangan beliau yang menempati urutan yang keenam. Hal ini karena ada sebagian ulama yang tidak mengikutsertakan kitab karangan Imam Ibnu Majjah ke dalam kitab hadits pokok.
7.      As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah Bin Abdurrahman Ad Damiri ( 181- 255 H )
8.      Al–Musnad oleh Imam Bin Hambal ( 164 – 241 H )
9.      Al–Muntaqa Al Ahkam oleh Imam Abdul Hamid Bin Jarud ( Wafat 307 H )
10.  Al–Mushannaf oleh Imam Ibn Abi Syaibah (  Wafat 235 H )
11.  Al–Kitab oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
12.  Al–Mushannaf oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
13.  Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad Bin Jarir At – Thobari ( Wafat 310 )
14.  Al–Musnadul Kabir oleh Imam Baqi’bin Makhlad Qurthubi (Wafat 276 H)
15.  Al–Musnad oleh Imam Ishaq Bin Rawahih ( Wafat 237 H )
16.  Al–Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( Wafat 213 H )
17.  Al–Musnad oleh Abdibni Ibn Humaid ( Wafat 249 H )
18.  Al–Musnad oleh Imam Abu Ya’la ( Wafat 307 H )
19.  Al–Musnad oleh Imam ibn Abi Usamah Al-Harist Ibn Muhammad  At- Tamimi (Wafat 282 H)
      Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang di tulis oleh para ulama abad ini.




PERIODE PENGHAFALAN HADITS ABAD KE IV H
A.  KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST
            Pada priode ini penghimpunan hadist disertai pemeliharaan nya tetap dilakakukan walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadist-hadist yang di himpun tidaklah sebanyak sebelum priode ini.
            Didalam era ini jenis kitab-kitab hadsit Nabi SAW. Mencakup sebagain besar kitab-kitab hadist yang sifatnya mengumpulkan kitab-kit ab hadist yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadist Nabi SAW sebelumnya.
            Kegiatan periwayatan hadist pada priode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah ( lesensi/ sertifikat dari guru utnutk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadist ). Sedikit sekali ulama’ yang melakukan seperti ulama’ Muqaddimin.

B. BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA PRIODE INI
            Para ulama’ hadist pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanadnya. Seperti kitab
·        Jami’ Kutub As-Sittah ( kitab hadist yang mengumpulkan hadist- hadist Nabi SAW yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadist seperti
·        Saheh Bukhari
·        Saheh Muslim
·        Sunan At – Turmuzi
·        Sunan Abu Daud
·        Sunan An – Nasa’i
·        Sunan Ibnu Majah
·        Diantaranya karya Ahmad bin Razin Bin Muawiyyah Al Abdari Al Saeqithi ( Wafat 535 H ) dan beberapa kitab lainya.
·        Kitab Istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadist dari Sahih Bukhari Muslim umpanya, lalu meriwayatkkannya dengan dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Imam Bukhari atau Imam Muslim karena tidak memproleh sanad sendiri.
Contohnya
      Mustakhraj Shaheh Bukhari oleh Imam Jurjani, dan Mustakhraj Saheh Muslim oleh Abu Awanah
·        Kitab Athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagain hadist kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
·        Kitab – Kitab Zawaid, Yaitu kitab mengumpulkan hadist-hadist yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
Contohnya
      Zawaid Ibnu Majah Ala Al –Usuli Al Khamsah.
·              Kitab Syarah
·              Kitab Mukhtashar
·              Kitab Petunjuk
·        Kitab Istidrak, yaitu mengumpulkan hadist-hadist yang memiliki syarat- syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahehkan oleh kediuanya.
Contohnya
      Al – Mustadrak Ala Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An- Naisaburi ( 321 – 405 H )

Abad ke IV H ini merupakan abad pemisahan antara ulama’ Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’ tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama’ mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab–kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
1.     Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).
2.     Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3.      Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

PERIODE MENGKLASIFIKASIKAN DAN MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB-KITAB HADITS ABAD KE V SAMPAI SEKARANG
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke V samapi sekarang adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar. kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4.     Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
            Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih luas, simple dan sistematis. Diantara mereka adalah :
1.      Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2 kitab sahih sesuai urutan sanad.
2.  Abu Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau mengumpulkan enam kitab hadis dengan urutan bab.
3.  Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan karangan-karangan lain ( selain  kutub al-sittah ).
4.  Al-Suyuthi tahun 911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami al-Kabir
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.      Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.      Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc


















MATERI KELIMA
Pengertian Ulumul Hadis
Ulumul Hadis adalah istilah Ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama` Hadis. (Arabnya: `Ulum al Hadits). `Ulum al Hadits terdiri atas dua kata, yaitu `Ulum dan al Hadits. Kata `Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari `Ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al Hadits di kalangan Ulama` Hadis berarti “segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.” Dengan demikian `Ulum Al Hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi “.
Secara umum para Ulama` Hadis membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah (`Ilm al Hadits Riwayah) dan Ilmu Hadis Dirayah (`Ilm al Hadits Dirayah):
1. Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
a.       Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.
b.      Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu:
Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
c.       Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu:
Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
-   Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
-   Cara pemeliharaan Hadis, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.
2.        Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadis Dirayah ini. Akan tertapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
a.       Menurut ibnu al-Akfani, yaitu:
Dan ilmu hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuaatu yang berhubungan dengannya.
b.      Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu:
Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadis) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Syarat-syarat Riwayat yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang di riwayatkan dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama` (perawi yang mendengar langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira`ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunyadi hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang Ulama` tanpa di bacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan suatu Hadis yang tertulis kepada seseorang untuk di riwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), i`lam (memberi tahu seseorang bahwa Hadis-hadis tertentu adalah koleksinya),  washiyyat (mewasiat-kan kepada seseorang koleksi Hadis yang di milikinya), dan wajadah (mendapat-kan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
Macam-macam riwayat adalah seprti periwayatan muttashil (periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi yang terakhir), atau munqothi` (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah atau di akhir), dan yang lainnya.
Hukum riwayat adalah al-qobul (di terimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu), dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi).
Keadaan para perawi maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-`adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh)
Syarat-syarat mereka yaitu syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda`).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat) adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu`jam, atau al-ajza` dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW.
c.       M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu:
Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau ditolaknya.
Dengan urian sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta`dil ketika tahammul dan adda` al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi diatas adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak di benarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui idenatitasnya atau tersamar; (ii) segi keterpercayaan sanad (tsiqot al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat didalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya); (iii) segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz); (iv)keselamatannya dari cacat (`illat); dan (v) tinggi dan rendahnya suatu sanad.
Sedangakan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dho`ifan-nya. Hal tersebut dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al-Qur`an, atau keselamatannya: (i) dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasd al-ma`na), karena bertentangan dengan akal dan panca indra, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur`an, atau dengan fakta sejarah; dan (iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk di amalkan), dan yang mardud (yang ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama diatas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan di tolaknya.

Cabang-cabang Ulumul Hadis
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
     a.    Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
     b.     Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut `adil, sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih.
     c.    Ilmu Fannil Mubhamat
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad. Misalnya perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
     d.    Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya, yang bisa disebut sebagai ilmu Talfiq al-Hadits.
     e.    Ilmu `Ilalil Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu Hadis. Misalnya memuttasilkan Hadis yang munqathi`, memarfu`kan Hadis yang mauquf, memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang lain, dan sebagainya. Ilmu yang satu ini menentukan apakah suatu Hadis termasuk Hadis dla`if, bahkan mampu berperan amat penting yang dapat melemahkan suatu Hadis, sekalipun lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari segala illat.
     f.      Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan Hadis Rasulullah SAW yang sukar di ketahui dan di pahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Atau ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.
     g.    Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadis yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
     h.    Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadis)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan. 
     i.      Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang di pakai oleh ahli-ahli Hadis.
Contoh Kitab yang Berhubungan dengan Cabang-cabang Ulumul Hadis.
      a.       Ilmu Rijal al-Hadis
      1.      Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqot)
-         Kitab Al-Thabaqot al-Kubra, karya Abu abdillah ibn Sa`ad Katib al-Waqidi (168-230 H)
      -         Thobaqot al-Riwayat, karya Khalifah ibn Khayyath al-`Ushfuri (w. 240 H)
      -         Kitab Tadzkirat al-Huffazh, karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746 H/1348 M).
      2.      Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah menggunakannya, seperti  Al-Tarikh al-Kabir, karya Al-Imam Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256 H).


      3.      Kitab yang membahas biografi para sahabat Nabi, seperti:
      -         Al-Isti`ab fi Ma`rifat al-Ashab, karya Ibn `Abdil Barr (w. 463 H/1071 M). yang memuat biografi tidak kurang dari 3500 orang sahabat.
      -         Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Shahabah, karya `Izzuddin ibnul Atsir (w. 630 H/1232 M). yang memuat biografi sebanyak 7554 orang sahabat.
      4.      Kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih al-Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Nasa`I, Sunan Ibn Majah) antara lain, Al-Kamal fi Asma al-Rijal, karya `Abdul Ghani al-Maqdisi (w. 600 H/1202 M).
      b.      Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Kitab-kitab yang disusun mengenai  Jarh dan Ta`dil, ada beberapa macam yaitu:
      1.      Kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah, seperti Kitab Thobaqot Muhammad ibn Sa`ad Az Zuhry Al Bashory (230 H).
      2.      Kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat di percaya saja, seperti Kitab Ats Tsiqot, karangan Al `Ajaly (261 H) dan kitab Ats Tsiqot, karangan Abu Hatim ibn Hibban Al Busty.
      3.      Kitab yang menerangkan tingkatan penghafal-penghafal Hadis, seperti kitab karangan Ibnu Hajar Al `Asqolany dan As Sayuthy.
      4.      Kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja, seperti Kitab Adl Dlu`afa karangan Al Bukhary dan Kitab Adl Dlu`afa karangan Ibnul Jauzy (597 H).
      c.       Ilmu Fannil Mubhamat
      -         Kitab susunan Al Khatib Al Baghdady, yang kemudian kitab tersebut diringkas dan di bersihkan oleh An Nawawy dalam Kitab Al Isyarat ila bayani Asmail Mubhamat.
      d.      Ilmu Mukhtalif al-Hadis
      -         Kitab Ikhtilaf al-Hadits, karangan Imam al-Syafi`i (150-204 H).
      -         Kitab Ta`wil Mukhtalif al-Hadits, karangan `Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Danuri (213-276 H).
-         Kitab Musykilul Atsar, karangan Al-Imam Abu Ja`far ibn Muhammad al-Thahawi (239-321 H).
-         Kitab Musykil al-Hadits wa Bayanuhu, karangan Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (w. 406 H).
e.       Ilmu `Ilalil Hadits
-         Kitab Ilalil Hadits karangan Ibnu al-Madani (234 H), Imam Muslim (261 H), Ibn Abu Hatim (237 H), Ali bin Umar Daruquthni (375 H), Muhammad bin Abdullah al-Hakim (405 H), dan Ibn al-Jauzi (597 H).
f.        Ilmu Gharibul-Hadits
-         Kitab Al-Fa`iq fi Ghorib al-Hadits, karangan Zamakhsari.
      -         Kitab Al-Nihayat fi Ghorib al-Hadits wal-Atsar, karangan Ibn al-Atsir (606 H).
      -         Kitab Al-Dar al-Natsir, Talkhis Nihayah Ibnal Atsir, karangan As-Suyuthi.
      g.       Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
      -         Kitab Nasikh wal Mansukh , karangan Ahmad bin Ishak ad-Dinari (318 H), Muhamad bin Bahr al-Ashbahani (322 H), Wahbatullah bin Salamah (410 H).
      -         Kitab Al-I`tibar fi al nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karangan Abu Bakr Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani (584 H).
      h.       Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
      -  Kitab karangan Abu Hafsh al-Akbari (380-456 H).
      -         Kitab Al-Bayan wa al-Ta`rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif, karangan Ibn Hamzahal Husaini al-Dimasyqi (1054-1120 H).
      i.         Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
      -         Kitab Taujihun Nadhar fi Ushulil Atsar, karangan asy Syaikh Thahir Al Jaza-iry.
      -         Kitab Qawa`idul Tahdiets, karangan Allamah Jamaluddien Al Qasimy.





























MATERI KEENAM
HADIS DITINJAU DARI KUANTITAS SANADNYA
            Dalam mengungkapkan pembagian hadis dari segi kuantitas sanadnya maka para ulama hadis (Muhhaddisin) membaginya menjadi dua macam :
1.  Hadis Mutawatir
a.      Pengertian
                 Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi` yang berarti yang datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut satu dengan yang lain.
     Sedangkan menurut istilah ialah
ا لّذ ي رواه جمع كثير لا يمكن توا طؤهم على الكذب عن مثلهم انتهاءالسّند و كان مستندهم الحسّ
Arti: “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada pancaindera”.

                 Berdasarkan defenisi di atas dapat kita pahami bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang bersifat indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara tradisi dan akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan memalsukan hadis.
b.     Syarat-syarat Hadits Mutawatir
1.  Diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
          Bilangan para  perawi hadis harus mencapai jumlah yang menurut tradisi mustahil untuk besepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat untuk untuk berdusta.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. hal tersebut diqiyaskan dengan jumalah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi` menentukan minimal  5 orang.  hal ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
            Sebagian ulama menetapkan 20 orang.  Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mu`min yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang ( Q.S Al-Anfal :65)


2.    Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
                 Jumlah banyak orang pada tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak  tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir tetapi dinamakan ahad. Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlahya, mungkin saja jumlahnya berbeda  namun nilainya sama. Misalnya, pada awal tingkatan 10 orang, tingkatan berikutnya 20 orang, 40 orang dan seterusnya. Jumlah seperti ini tetap dinamakan sama dan tergolong mutawatir.

3.    Mustahil bersepakat untuk berbohong
                      Misalnya para perawi dalam sanad itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda baik Negara, jenis dan pendapat yang berbeda pula. Sehingga dengan jumlah seperti ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan untuk berbohong dan memalsukan hadis. Pada masa awal pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan jaman sekarang ini, di samping kejujuran, dengan daya memori mereka yang masih handal sehingga sangat sulit besepakat untuk berbohong dalam suatu periwayatan.
                      Salah satu alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena masih memungkinkan untuk bersepakat berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan  dengan realita dunia sekarang dimana kejujuran tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi hal itu berada dalam bingkai politik dan lain-lain. Oleh sebab itu sehingga para pengingkar sunnah menolaknya, karena sekalipun sudah mencapai jumlah yang banyak tetapi masih memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk berbohong.

4.    Sandaran berita itu pada panca indera.
                 Yang dimaksudsandaran panca indera adalah berita tersebut didengar atau dilihat oleh pemberitanya, tidak disandarkan pada logika atau akal sebagaimana sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah. Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Sehingga apabila hadis itu logis atau tidak inderawi. Sandaran berita pada panca indera misalnya ungkapan:
Sami`na (kami mendengar) dari Rasulullah bersabda begini Ra`aina (kami melihat ) Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
c.      Hukum Hadits Mutawatir
                   Hadis mutawatir memberikan fadah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan karena ia memberikan keyakinan yang qat`i (pasti) dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sdikitpun bahwa Rasulullah  saw, betul-betul menyabdakan atau mengerjakan sesuatu  seprti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
                   Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan dan kedhabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat untuk berbohong. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim  menerima dan mengamalkan semua hadis mutawatir.Tidak ada perselisihan dikalangan para ulama tentang keyakinan faedah hadis mutawatir ini. Al-Hafidz mengatakan: khabar mutawatir member faedah dharuri, seseorang harus menerima dan tidak apat menolaknya.
                   Seseorang yang mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan periwayatan mutawatir sama halnya dengan mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan penglibatan panca indera. Karena dengan jumalah banyak perawi yang tidak memungkinkan sepakat untuk berbohong itu sudah cukup dijadikan alat untuk mencapai tujuan akhir atau untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu hadis yang merupakan sumber syari`ah Islam. Oleh karena itu, penelitian sifat-sifat perawi mutawatir tidak diperlukan sebagaimana hadis  Ahad.
d.    Macam-macam Hadits Mutawatir
                             Para ulama hadis membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawidan mutawatir amali.

1.    Mutawatir Lafzhi
Mutawatir lafzhi menurut Nur Ad-Din Atsar adalah:
Hadis yang mutawatir dalam satu lafadh”.
Sedangkan menurut Muhammad At-Tahhan:
ماتواترلفظه ومعناه
Hadis yang mutawatir lafadh dan ma`nanya”.
Dan menurut Tawjih An-Nadzar adalah:
Hadis yang sesuai lafal para perawinya, baik menggunakan satu lafal atau lafal lain yang sama makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas”.
Contoh mutawatir lafzhi :
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار
“ Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api neraka”.(HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmizi, An-Nasa`i, dan Abu Daud)

2.      Mutawatir  Ma`nawi
            Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
ما اجتلفوا في لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كليّ
Hadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu makna yang umum.
                        Dari defenisi di atas, maka mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir pada makna, yaitu beberapa riwayat yang berlainan tetapi memiliki makna yang sama atau satu tujuan. Misalnya, Hatim diriwayatkania memberi seseorang seekor unta, periwayatan lain ia memberi seekor kuda dan riwayat lain pula ia memberi hadiah dinar. Maka disimpulkan makna periwayatannya bahwa ia seorang dermawan.

3.         Mutawatir Amali
                        Sebagian ulama memberikan defenisi mutawatir amali sebagai berikut:
ما علم من الدّ ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبيّ صلى ا الله عليه وسلّم فعله أو أمر به أو غير ذلك
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw. Mengerjakannya atau menyuruhnya dan atau selain itu”.
                        Dengan demikian hadis mutawatir amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan contoh pada generas-generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.
Kitab-kitab tentang hadis mutawatir antara lain:
·      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
·      Qahtful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
·      Al-La`ali Al-Mutanatsirah filAhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
·      NazhmulMutanatsirahminal Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja`far Al-Kittani

2.    Hadis Ãhãd
a.    Pengertian
                 Ãhãd  merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal. Sedangkan menurut istilah menurut ulama  Hadis Aahaad adalah
الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سواءٌ كان المخبر واحدا أواثنين أو ثلاثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من الأعدادالّتي لاتشعر بأنّ اخبر دخل بها في خبرالمتواتر.
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.

            Dengan pengertian di atas sehingga hadis aahaad member faedah ilmu Nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit memiliki sifat-sifat kreadibilitas yang mampu dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah  apakah para perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak, sanadnyabersambung atau tidak, sehingga dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah  ia shahih, hasan atau dha`if.

      b.      Pembagian Hadits Ahad
              Hadis Aahaad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan Gharib.
a.    Hadis Masyhur
                 Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Masyhur Ishthilaahi.
       “Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan (tabaqaqh) sanad dan belum mencapai tingkat mutawatir”.
Contoh hadis :
sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para ulama, sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim  maka orang yang bodoh akan dijaikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”.
                         
Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu Amru, Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur dikalangan sahabat, karena terdapat tiga orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian lebih dari tiga orang tapi tidak mencapai tingkat mtawatir.

2. Masyhur Ghayr Ishthilahi
              Hadis MasyhurGhayrIshthilahiadalah hadis yang popular atau terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun jumlah perawinyatiak mencapai tiga orang atau lebih.

b.    Hadis `Aziz
                                    `Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat. Hadis diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya.
              Dari segi istilah terdapat beberapa defenisi antara lain adalah
hadis yang tidak diriwayatkan kurang daridua orang disemua tingkatan (tabaqah) sanad”.
contoh hadis `aziz:
لايوءمن أحدكم حتىّ أكون أحبّ إليه من نفسه من ولده ووالده والنّاس أجمعين (متفق عليه)
hadis diriwayatkan dari Abu Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya”.(HR.Muttafaq `Alaih)

Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurairah.Kemudian Anas memberitakan kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abdul Aziz ibnShuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada dua orang yaitu Syu`bah dan Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula kepada dua orang yaitu Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Waris.

c.         Hadis Gharib
            Gharib menurut bahasa berarti “menyendiri” atau “ jauh dari kerabatnya”. menurut istilah ialah “   hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”.
Ibnu Hajar mendefenisikan sebagai berikut:
“ hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,  dimana saja penyendiriansanaditu terjadi”.
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi dua macam:
a). Gharib Mutlak
Gharib mutlak yaitu “ hadis yang garabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanadyaitu seorang sahabat”.

                   Pokok sanad atau disebut asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam periwayatan hadis meskipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad. Contoh hadis Nabi saw.
عن عمرابن الخطّاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: انّما الاعمال با لنّيات و انّما لكلّ امرئ ما نوى (رواه البخارى ومسلم وغرهما)
Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya,…….”
                   Hadis ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saja. Kemudian diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Waqqash kemudian Muhammad bin Ibrahim. Dengan demikian hadis tersebut gharib mutlak karena hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari kalangan sahabat.
b). Gharib Nisbi
                        Gharib nisbi yaitu apabila keghariban (perawi satu orang ) terjadi pada pertengahan sanad bukan pada awal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkanoleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
                 Adapun berbagai kegharibanatau ketersendirian yang dianggap sebagai gharibnisbi adalah sebagai beikut:
·      Seorang perawi terpercaya secara sendiriran meriwayatkan hadis (muqayyad bi ats-tsiqah)
·      Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara sendiriran dari seorang perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
·      Penduduk negeri atau penduduk daerah secara tersendiri meriwayatkan hadis (muqayyad bi al-balad).


HADIS DITINJAU DARI KUALITASNYA
            Bila ditinjau dari segi kualitasnya, maka hadis terbagi menjadi dua macam:

1.    Hadis Maqbul
  Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq ( yang dibenarkan atau diterima),sedangkan menurut istilah adalah
Artinyahadis yang unggul pembenaran pemberitanya”
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis untuk  menjadi hadis yang maqbul, yaitu bila sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan matan-nya tidak syadzdan tidak ber-illat.
Dengan demikian hadis maqbul adalah hadis yang  dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah dan panduan pengamalan syari`at. Berdasarkan penjelasan di atas maka para ulama membagi  hadis maqbul menjadi dua bagian utama yaitu; hadis shahih dan hasan.
a.    Hadis shahih
Sahih menurut bahasa berarti sehat (lawan sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan  sah, benar, sempurna,  sehat (tiada celanya). 
Sedangkan menurut istilah dikalangan ulama ialah
ما اتّصل سنده با لعد ول الضّا بطين من غير شذ وذ ولاعلة
“hadis yang bersambungsanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit (kuat daya ingatan), selamat dari keganjalan (syadzdz) dan cacat (illat)”
Dari defenisi di atas dapat disimpulakan, bahwa hadis shahih memiliki lima kreteria persyaratan sebagai berikut:
1.    Bersambungnya sanad
Yaitu, setiap perawi telah mengambil hadis secara langsung  perawi sebelumnya dari permulaan sampai akhir sanad.

2.    Perawinya adil:
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus,  seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan mninggalakan larangannya, dan  senantiasa berakhlak baik dalam segalah tingkah lakunya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatansanad-hadis adalah bahwa semuah perawinya disamping harus islam dan balig, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b)      Senantiasa menjauhi dosa kecil.
c)      Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.

3.    Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat. Seseorang dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit  adalah mereka yang kuat hapalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaiakan hapalan tersebut manakalah diperlukan.
Yang dicakup dalam pengertian dhabit pada periwayatan disini terdiri atas dua kategori, yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi Al kitab yang dimaksud dengan dhabit fi As-sadr  ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkan kepada orang lain; sedangkan dhabitfil Al-kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.



4.    Tidak  syadzdz
Menurut Imam Iyafi’i Yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz (bentuk jamak dari syadzdz ) disini ialah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan  oleh  perawi lain yang lebi kuat atau lebih tsiqah. Pengertian inilah yang paling banyak diikuti ulama hadis lainya.
Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebi kuat atau lebitsiqah.
5.    Tidak berillat         
Kata  illat bentuk jamaknya adalah  Ilal atau  Al-Ilal yang  menurut bahasa berarti cacat,  penyakit,  keburukan,  dan  kesalahan  baca. Dengan  pengertian ini yang disebut hadis ber-illat adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.
Menurut   istilah,  illat  berarti  suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di sini karena  jika dilihat dari shahihnya, hadis tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada  hadis  tersebut, mengakibatkan  nilai  kualitasnya  menjadi  tidak sahih, dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya  secara  bersama - sama.  Namun  demikian,  illat yang paling banyak,  yaitu yang terjadi pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
Para ulama ahli hadis membagi membagi hadis sahih menjadi dua bagian, Yaitu sahihlidzatihdan sahih li ghairih.Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hapalan  atau  ingatan  perawinya. Pada hadis shahih lighairih ingatan perawinya kurang sempurna.
Yang  dimaksud dengan sahih li dzatihi, ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan hadis sahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi. Definisi hadis sahihlidzatih:
“Hadits shahih Lidzatihi yaitu hadits yang bersambungsanadnya dengan penukilan perawi yang ‘adil dan dhabith dari yang semisalnya sampai akhir sanad tersebut serta hadits tersebut bukan hadits yang syadz dan bukan hadits yang mu’allal (cacat)”.
contoh hadis sahihlighairih adalah hadis riwayat turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr
Artinya “ seandainya tidak memberatkan ummatku,niscaya akan kuperintahkanbersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”
     Ibnuumar ash-shalah menyatakan bahwa Muhammad bi Amr terkenal sebagai orang yang  jujur, tetapi kedhabitannya kurang sempurna sehingga hadis riwayatnya hanya mencapai tingkat  hasan.
b.      Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilanpara perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
a)    Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.sepertiperiwayatansanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b)   Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas. Seperti periwayatansanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c)    Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. sepertiperiwayatanSuhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a)    Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)   Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)    Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
     d)   Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e).Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f). Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)    Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti IbnuKhuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
a)                   Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
b)                  Shahih Muslim (w. 261 H).
c)                   ShahihIbnuKhuzaimah (w. 311 H).
d)                  Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H).
e)                   Mustadrok Al-hakim (w. 405).
f)                    ShahihIbn As-Sakan.
c.    Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadisdha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
      a)      definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashurrawi-rawisanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha
b)   definisiIbnuHajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambungsanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahihli-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan lidszatihi.
       Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
1.      Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasanli-ghairih;
a). Hasan  Li-Dzatih
                      Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan.pengertian hadis hasanli-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b). Hasan Li-Ghairih
            Adapun Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’ru al-hifdzih),tidak dikenal identitasnnya (mastur)dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi dibantu oleh hadis–hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.

Contoh hadis hasan:
Artinya ; Telah menceritakan kepda kami  yahya bin Al-tamimi dan qutaibah bin said –ucapan yahya- telah berkata qutaibah kepada kami dan telah berkata yahya bahwasanya Ja’far bin Sulaiman  memberitakan kepada kami dari bapaknya Imran Al-Jauan dari bapaknya Abu Bakar bin Abdillah bin Qaeis dari bapaknya ;saya perna mendengar bapak saya berkata, ketika itu sedang berhadapan dengan musuh, bahwasanya Rasulullah SAW ; sesungguhnya pintu-pintu surga dibawah kilatanpedang,” lalu berdirilah seseorang yang berpakaian compang-camping seraya berkata; “ wahai abu musa apakah anda mendengar Rasulullah bersabda seperti yang anda ucapkan ini “ya” lalu orang itu kembali kepadaa sahabat-sahabatnya seraya berkata “aku mengucapkan salam kepada kalian kemudian orang ini memecahkan sarung pedangnya, lalu membuangnya dan dengan serta merta dia pergi menuju musuh dengan membawa pedangnya terus bertempur hingga gugur.

Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
2.      Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushulfiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
3.      Kitab-kitab hadis hasan
            Ulama yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih, hadis hasan, hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam At-Tirmitdzi memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang menghimpun hadis hasan adalah;
a)        Sunan At-tirmitdzi
b)        Sunan Abu Daud
c)        Sunan Ad-Dar Quthny

2.    Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
Sedangkan menurut istilah hadis mardud adalah “hadis yang tidak unggul pembenaran pemberitanya”.
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan wajib di amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah hadis dha’if (lemah) .
a.      Hadis Dho`if
                        Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah lawan dari Qawi (yang kuat).Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaifialah hadits yang tidak memuat atau  menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
b.    Kehujahan Hadits dhaif
            Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan  tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan,  Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka:
1.      Para ulama berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib maupun dalam fadha’ilula’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh IbnuArabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
2.      Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
3.      Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak membolehkannya.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah amal, menyaratkan kebolehan mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a)      Kelemahan hadis itu tidak seberapa
b)      Apa yang ditunjukan hadis itu juga ditunjukan oleh dasar lain yang dapat dipegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang suda dibenarkan.
c)      Jangna diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadis itu benar dari Nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan nash sama sekali.






4 komentar:

Pengikut