MIMPI ANAK
BANGSA
Di tengah lebatnya hujan dalam sebuah jalanan tanpa
alas aspal, seorang anak kecil berlari menyapu bersih keberadaan hujan yang ditemani amuk amarah
sang petir. Anak itu mengenakan seragam sekolah yang sudah kusam dan sepasang
sepatu yang sudah tak layak digunakan dengan memeluk erat buku tepat di
dadanya, berharap buku itu tidak diselimuti air hujan. Dia ingin segera tiba di rumah tanpa merusak
buku yang menjadi alat penghubung antara syaraf dan hatinya. Buku tanpa sebuah
tas sangat mudah hancur dilalap air.
Selangkah lagi anak itu tiba di sebuah rumah
sederhana yang beralaskan tanah. Buku yang dia lindungi berhasil tiba di rumah
dengan sapuan air hujan. Hati kecil mulai
berdialog hingga mengganggu fikirannnya.
Air mata anak itu akhirnya tumpah, dia
merasakan sesuatu yang tampak sudah lama dia pendam. Rasa kesal semakin
menghantui ketika seorang paruh baya menghampirinya.
“Rasyid,
ada apa denganmu nak?” Tanya ibu anak itu saat mendapatkan anaknya berlinangan
air mata.
Anak
yang ternyata bernama Rasyid itu mengelus-elus wajah menjawab pertanyaan paruh
baya itu.
“maa,,
aku lelah jika setiap hari harus menelusuri jalan yang becek dengan sepatu yang
robek dan melindungi buku jika hujan turun. Aku butuh sebuah tas dan sepatu
yang layak maa” jawab Rasyid hingga air matanya semakin deras mengalir di pipi.
Ibunya tak mampu menyusun kata-kata yang tepat untuk meluluhkan hati anaknya
yang masih berusia delapan tahun. Dia hanya bisa memandang ibah berharap Rasyid
mengerti dengan keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan tanpa seorang
ayah yang biasanya menjadi kepala keluarga dalam sebuah rumah.
Rasyid
menunggu jawaban dari paru baya itu tapi tak ada respon. Dia akhirnya memasuki
ruang kecil tempat dia merebahkan tubuh dan berlalu bersama air mata yang masih
menempel di pipi menuju alam mimpi.
Angin
membelai wajah Rasyid yang tertidur pulas, hingga akhirnya dia sadarkan diri.
Rasyid mendapati ibunya sedang memilih-milih kayu yang utuh untuk dijual sambil
menunggu kehadiran dua anaknya Arase dan Terang yang belum juga tiba di rumah.
Kedua anaknya itu masih bekerja di peternakan sapi milik saudagar kaya di desa
Tolenceng daerah Watampone. Ibu Bunga yang hanya bekerja sebagai pencari kayu bakar
membuat kedua anaknya yang hanya berhasil menempuh bangku SD bekerja membantu
perekonomian keluarga.
Indahnya
sinar dewi malam menyadarkan Rasyid akan perkataan yang sempat membuat ibunya
sedih, dia menyesal dengan kejadian itu.
“Maa.
Maafkan aku… aku tidak bermaksud….”kata Rasyid saat menghampiri ibunya.
“sudalah
nak. Sekarang kamu mandi jangan lupa shalat. Kalau kamu lapar di dapur ada nasi
dan tempe. Sisahkan untuk kakakmu.” Ibu Bunga berkata memotong pembicaraan
Rasyid. Rasyid menurut begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar