KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM
Tugas Ini Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kulia Prinsip Prinsip Ekonomi Islam pada Semester V Program Studi Ekonomi
Syariah Kelompok
6 Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Oleh
KASMIA
SRI WAHYUNI
SYAHRIZAL EKA PUTRA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
WATAMPONE
2015
A. Pendahuluan
Di era
moderen sekarang kita sedang disibukkan membangun sesuatu di segala bidang,
termasuk bidang aqidah. Sudah tiba masanya bagi kita umat islam untuk
memurnikan kembali aqidah, mengembalikan aqidah itu persis menurut apa yang
diajarkan oleh Rasulullah.
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang
sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan
ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun
di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat
rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau
menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur
berantakan. Maka,
aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama dan diterimanya suatu
amal.
Mengingat
pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan
dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya.
B. Pembahasan
1. Aqidah dan Ekonomi
‘Secara
etimologis (lughatan), aqidah berakar dari kata aqada-yaqidu-aqdan-aqidatan.
Aqdan berarti simpul, ikatan,
perjanjian dan kokoh. Setelah berbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.
Relevans antara kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu
tersimpul dengan kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.’[1]
‘Menurut
abu bakar jabir al-jazairy aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima
secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah (kebenaran).
Itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini kesahihan dan
keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran.’[2]
‘Aqidah harus mendatangkan
ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja purapura meyakni
sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketentraman jiwa karena
dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Bila
seseorang sudah meyakini suatu kebenaran ,dia harus menolak segala sesuatu yang
bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini
sekaligus dua hal yang bertentangan.’[3]
Sumber
aqidah islam adalah al-quran dan sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh
allah dalam al-quran dan oleh rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani (diyakini
dan diamalkan). Akal fikiran tidaklah menjadi sumber aqidah tapi hanya berfungsi
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut. Akal tidak akan
mampu menjangkau masail ghaibiyah (masalah ghiab), bahkan akal tidak
akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
Misalnya akal tidak akan mampu menjawab pertanyaan kekal itu sampai kapan?
‘Sebenarnya akidah itu
hanya satu, yaitu meyakini tentang keesaan Allah, dan adanya pembalasan dari
yang maha Ghaib. Penyelewengan
akidah itu banyak bentuknya, tapi di negeri kita ini yang di anggap paling berbahaya
hanya empat yaitu, paham syirik, tahayul, khufarat dan paham kebatinan.’[4]
‘Ekonomi
adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan denngan upaya
manusia secara perseorngan (pribadi), kelompok (keluarga,suku bangsa,
organsasi) dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada
sumber yang terbatas.’[5]
‘Ekonomi, secara umum,
didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan
sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang di butuhkan
manusia. Dengan demikian, ekonomi merupakan suatu bagian dari agama. Ruang
lingkup ekonomi meliputi satu bidang perilaku manusia terkait dengan konsumsi,
produksi, dan distribusi.’[6]
Apa hubungannya antara aqidah dan ekonomi? landasan
aqidah akan membimbing kita dalam berperilaku individu dalam aktifitas ekonomi
untuk selalu yakin bahwa segala yang dilakukan akan mendapatkan konsekuensi
yang dipertanggungjawabkan. Aqidah yakni memberikan keyakinan bahwa sistem
ekonomi Islam jika dilakukan akan mendapat pahala dan jika dilanggar maka akan
mendapat dosa.
2. Mengenal Allah
‘Allah adalah awal, sebelum awal itu memulai menggelar
dirinya. Allah adalah akhir ketika yang akhir itu menggulung dirinya. Allah
tegak sendirian ketika semuanya bangkrut karena Allah adalah sumber kehidupan
alam semesta.’[7]
‘Jalan untuk mengenal tuhan adalah dengan tuhan. Salah satu hadis yang
mengatakan “aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin diketahui
siapa aku, maka kuciptakanlah makhlukku. Maka dengan akulah mereka mengenal
aku. Hadis diatas adalah hadis yang melukiskan bahwa allah menciptakan
makhluknya agar ia dikenal oleh makhluknya. Kemudian disadari bahwa penciptaan
manusia bukan merupakan pekerjaan iseng tuhan atau pekerjaan yang siasia.
Justru penciptaan alam semesta dan isinya merupakan penciptaan allah yang maha
besar.’[8]
‘Allah adalah sumber, barang siapa yang memberi karena allah, menolak karna
allah, mencintai karena allah, membeci
karena allah dan menikahi karena allah, maka sempurnahlah imannya. Karena
segala yang kita lakukan karena allah. Ketika allah mulai menciptakan kehidupan
di bumi muncullah makhluk manusia, yaitu
dari kita ini, kita menjadi makhluk yang tak mungkin dipisahkan dari tuhan semesta
alam. Itulah sebabnya setiap kita memulai suatu aktivitas selalu menyebut
basamalah.’[9]
Mengenal allah maka kita harus memperbaiki hubungan kita
dengan allah, untuk mencapai hubungan itu kita senantiasa berdzikir menyebut
asma Allah. Ketika kita mantap untuk melakukan suatu keputusan, kita ingat
allah. Akhirnya, ketahuan bahwa usaha hidup kita sehari hari adalah menjalin
hubungan dengan tuhan tetap utuh, dekat dan menyenangkan.
Mengenal diri itu
adalah “Kunci” untuk Mengenal Allah.
Hadis mengatakan : MAN
‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU (Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal
Allah)
Jika anda tidak kenal diri sendiri, bagaimana hendak
tahu hal-hal yang lain? yang dimaksudkan dengan
Mengenal Diri itu bukanlah mengenal bentuk lahir , tubuh,
muka, kaki, tangan dan lain-lain. karena mengenal semua hal itu
tidak akan membawa kita mengenal Allah, dan bukan pula mengenal
perilaku dalam diri anda yaitu bila lapar anda makan, bila dahaga anda
minum, bila marah anda memukul dan sebagainya. Jika anda bermaksud
demikian, maka binatang itu sama juga dengan anda. yang dimaksudkan
sebenarnya mengenal diri itu ialah: Apakah yang ada dalam diri itu? Dari
mana kita datang? Kemana kita pergi? Apakah tujuan kita berada dalam dunia
fana ini?
Tidak
hanya itu untuk mengenal Allah kita harus Mengenal keberadaan Allah, Mengenal
keesaan rububiyah Allah, Mengenal keesaan uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk
diibadahi), Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla
Seorang Arab Baduwi
ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allâh Azza wa Jalla?” Dia menjawab,
“Subhânallâh (Maha Suci Allâh)! Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya
onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang
memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki
ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang Maha
Baik) al-Khabîr (Maha Mengetahui).”
3. Mengenal
Rasulullah
‘Nabi Muhammad SAW
diutus Allah SWT sebagai Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir dari seluruh
rangkaian Nabi dan Rasul. Tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.’[10]
Hal itu di tegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya: Muhammad itu sekali-sekali bukan bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasullullah dan penutup
Nabi-nabi(khatamun Nabiyyin). Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”(Al-Ahzab 33:40).
‘Nabi
muhammad SAW di utus oleh Allah membawa petunjuk yang Abadi dan Rahmat Bagi
seluruh alam. Berbeda dengan umat-umat yang terdahulu, yaitu bila mereka minta
disegerakan azab, Allah menurunkan azab itu kepada mereka , sedangkan kepada
umat Nabi Muhammad karena di sayang dan di kasihnya kepada mereka, di
datangkannya terlebih dulu azab yang paling rendah/paling enteng yaitu berupa
siksa di dunia, mudah-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang benar. ‘[11]
Demikian menurut yang di jelaskan-Nya dalam surat
al-sajdah, ayat,21:
Artinya: Dan sesungguhnya kami akan rasakan kepada
mereka berupa azab yang paling dekat/yaitu azab dunia sebelum datang azab yang
paling besar/azab hari kiamat, mudah-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.
Rasullullah SAW diutus adalah untuk :[12]
a). Mensucikan aqidah kepercayaan,
dari seluruh kecemeran syirk dan kepalsuan
b). Meluruskan
akhlaq budi pekert
c). Menyusun dan mengatur
amal usaha, ibadat dan muamalat, baik yang mengenai urusan seseorang, maupun
yang mengenai urusan umum.
d). Memberi petunjuk dan hidayah ke
jalan keselamatan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
‘Sebuah
tanda khusus Nabi adalah “penutupan kenabian”, yang menunjukkan kedudukannya
sebagai penerima terakhir wahyu ilahi. Ciri itu di lukiskan oleh semua sumber
sebagai tonjolan daging atau semacam tahi lalat sebesar telur
burung merpati , berwarna hitam dan sedikit kekuningan, yang terletak di antara
kedua bahunya. Tangan nabi di lukiskan sejuk dan wangi lebih sejuk dari es dan
lebih lembut dari sutera dan dalam semua riwayat keharuman yang keluar dari
tubuhnya selalu di beri tekanan. Beberapa wanita yang
dekat dengannya di yakni telah mengumpulkan keringatnya untuk di gunakan
sebagai parfum.......’
‘.......Lepas dari keyakinan akan wanginya bau tubuh nabi, timbul suatu
legenda yang menarik. Dalam perjalanannya ke langit, ketika dia sedang menuju
keharibaan ilahi, beberapa tetes keringatnya jatuh ke bumi, dan dari
tetesan-tetesan itu muncullah bunga mawar pertama yang berbau wangi. Dengan
demikian orang yang beriman masih dapat menikmati bau tubuh Nabi dari wanginya
bunga mawar, seperti yang di lagukan Rumi dalam syairnya yang termasyhur untuk
menghormati bunga mawar.......’[13]
‘Nabi
Muhammad saw adalah Nabi yang memberi syafa’at kepada semua
makhluk. Nabi yang mempunyai kedudukan terpuji. Dengannyalah orang hidup
berbahagia dan sejahtera semenjak adanya orang dalam periode pertama sampai
orang terakhir lahir ke dunia ini. Dialah pemberi syafaat terbesar, berkuasa
dan menempati kedudukan tertinggi di sisi Allah SWT. Muhammad menempati
kedudukan tertinggi di antara sekalian nabi-nabi dan rasul-rasul. Syafaat dan
doanya ditujukan kepada orang-orang yang ikut menolong dan mendoakannya. Barang
siapa yang mendoakan dan mensyafaatkan Nabi saw. Sekarang ini, bertawasul
kepada Allah sebagaiman yang di lakukan oleh sahabat Nabi, maka dia akan
disyafaa’atkan dan didoakan pula oleh Nabi nanti pada hari kiamat.’[14]
4. Konsekuwensi Akidah
‘Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan
melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermuamalat
dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan di terima oleh Allah SWT kalau tidak
di landasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah di namai berakhlak mulia bila
tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan bersilang.’[15]
Konsekuwensi aqidah yaitu mempu membuat kita berpandangan
luas. Menurut al-Maududi, orang yang memiliki aqidah benar tidak
mungkin mempunyai pandangan yang sempit karena dia percaya kepada yang Menciptakan langit
dan bumi, Pemilik alam semesta, Pemilik barat dan timur, Pemberi rezeki dan
Pendidik makhluk
Selaian itu terikat dan patuh pada peraturan Allah.
Akidah yang benar akan menjadikan manusia terikat dan patuh pada undang-undang
Allah. Orang yang beriman yakin bahwa Allah mengetahui segala
sesuatu. Allah lebih dekat kepada diri mereka daripada urat leher mereka
sendiri. Orang beriman yakin apabila mereka melakukan sesuatu perbuatan di
dalam gelap ataupun terang, Allah tetap mengetahui. Apabila terlintas
dalam hatinya sesuatu yang tidak baik, Allah tetap mengetahui. Walaupun
dia dapat menyembunyikan perbuatannya daripada orang lain, dia tidak dapat
menyembunyikannya dari Allah. Walaupun dia dapat melepaskan dirinya dari
berbagai kekuatan, dia tidak dapat melepaskan dirinya dari Allah.
Semakin kukuh akidah
ini melekat dalam jiwa seseorang, semakin tekun ia mengikuti hukum Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Ia bergegas menuju kebajikan dan mengerjakan apa yang
diperintah oleh Allah dimanapun berada. Di hadapan matanya senantiasa
terbayang pengadilan tinggi dan tidak ada orang yang dapat melepaskan diri
daripada pemeriksaan-Nya.
C. Penutup
Simpulan
Berdasarkan
penjelasan mengenai
pembahasan di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Aqidah yakni
memberikan keyakinan bahwa sistem ekonomi Islam jika dilakukan akan mendapat
pahala dan jika dilanggar maka akan mendapat dosa.
2.
Mengenal diri
sendiri adalah kunci mengenal Allah, Tidak hanya itu untuk mengenal Allah kita harus
Mengenal keberadaan Allah, Mengenal keesaan rububiyah Allah, Mengenal keesaan
uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk diibadahi), Mengenal nama-nama dan sifat-sifat
Allâh Azza wa Jalla
3.
Nabi Muhammad SAW
diutus Allah SWT sebagai Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir dari seluruh
rangkaian Nabi dan Rasul. Tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.
4.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat,
pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan
bermuamalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan di terima oleh Allah SWT
kalau tidak di landasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah di namai berakhlak
mulia bila tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak-balik dan
bersilang
Daftar Pustaka
Danarto, Gerak Gerik Allah, (cet. 2 ; Surabaya : Risalah Gusti, 1999), h. 2.
Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Islam, cet. 1
;Jakarta :Rineka Cipta, 1990.
Hasbi, M ash
Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, cet.
7 ; Jakarta : PT Karya Unipress, 1994), h. 15.
Ilyas, Yunahar , Kuliah
Aqidah Islam, cet. 7 ; Yogyakarta : LPPI, 2002.
Muhammad, Ahmad
Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi
Islam, cet. 1 ; Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.
Pusat Pengkajian
Dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi
Islam, cet. 4 ; Jakarta : Kharisma Putra Utama Offest, 2012.
Schimmel,Annemarie,
Dan Muhammad Adalah Utusan Allah,c et.
8 ; Bandung ; 2001), h. 55.
Taimiyah, Ibnu, Kemurnian
Akidah, cet. 2 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1996..
Zainal , KH. Arifin
Djamaris, Islam Aqidah & Syariah,
cet. 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
[5] Ahmad
Muhammad Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam, (cet. 1 ; Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h. 9.
[6] Pusat Pengkajian Dan
Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi
Islam, (cet. 4 ; Jakarta : Kharisma Putra Utama Offest, 2012), h. 14.
[11]
KH. Zainal Arifin Djamaris, Islam
Aqidah & Syariah, (cet. 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 259.
[12] M. Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (cet. 7 ; Jakarta
: PT Karya Unipress, 1994), h. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar