SYARIAT UMAT TERDAHULU
Makalah
Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kulia Ushul Fiqih pada
Semester III Program Studi Ekonomi Syariah Kelompok 6 Sekolah
Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone
Oleh
KASMIA
SRI
WAHYUNI
SELVI
ADRIANI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
WATAMPONE
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad SAW adalah sempurna
bagi umatnya, baik pada zaman kerasulannya maupun zaman setelah kerasulannya
berakhir. Sudah sepantasnya di hadapan kita semua bahwa Muhammad adalah sosok
fiqur yang Ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus),
karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat
manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam
beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan
orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan.
Terkaita dengan kerasulan Nabi
Muhammad yang merupakan Nabi penutup dimana terdapat Nabi-Nabi sebelumnya yang
juga membawa risalah Allah SWT ada sebua pertanyaan kecil dibenak kita, terkait
dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya,
sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh
beliau? Terkait dengan pertanyaan tersebut ulama berbeda pendapat, ada yang
mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syariat nabi
sebelumnya. Namun untuk lebih memperjelas tentang syari’at yang di bawa oleh
Nabi-nabi terdahulu atau yang kita kenal dengan istilah Syar’u Man Qablana ini
akan dibahas lebih lanjut
B.
Rumusan dan Batasan Masalah
1.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latarbelakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana
pemahaman makna Syariat umat terdahulu?
2. Bagaimana
pandangan ulama tentang syariat umat terdahilu/
3. Bagaimana
macam macam syariat umat terdaulu?
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka makalah ini akan membahas tentang pengertian
syariat umat terdahulu, pandangan ulama tentang su=yariat terdahulu serta macam syariat umat terdahulu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syariat Umat Terdahulu
Secara etimologis, syar’u man
qablana atau syariat umat terdahulu adalah hukum-hukum yang
disyariatkan oleh Allah SWT bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah, syar’u
man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan
dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Para ulama
ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena
kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para
ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Quran
adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat
Nabi Muhammad Saw
Dalam Al-Qur’an banyak nabi-nabi sebelum
Muhammad SAW yang diutus oleh Allah untuk membimbing umatnya masing-masing.
Bedanya kalau Nabi Muhammad adalah nabi untuk semua umat di banding Nabi-nabi
sebelumnya beliau. Sabda Nabi Muhammad SAW :
ﻛﺎﻥ ۱ﻠﻨﺐﻲ
ﺐﻌﺚ ﻠﻘﻮﻤﻪ ﺧﺎ ﺻﺎ ﻮﺑﻌﺛﺖ ﺍﻠﯽ ﺍﻠﻨﺎ ﺲ ﻋ ﻤﺔ
Yang artinya : “ setiap Nabi di utus
khusus untuk kaumnya, sedangkan aku di utus untuk seluruh umat umat
manusia “
Nabi-nabi terdahulu dan umatnya sudah
melaksnakan syariat’-syariat (agama) yang diperintah oleh Allah.
Syariat-syariat tersebut biasa kita kenal dengan syariat-syariat (agama)
samawi. Agama samawi pada prinsipnya melaksanakan syariat yang hanya satu
sumber yaitu dari Allah SWT.
Jika Al-qur’an atau sunnah yang
sohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu
melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga
ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata
lain pula tidak ada perbedaan penadapat bahwasanya hukum tersebut merupakan
syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti, berdasarkan
penetapan syara’, sebagaimana firman Allah
ياايها
الذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم....
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”(Al-baqarah :183)
Apabila Al-qur’an dan sunnah yang
sohih mengisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’I yang menunjukkan penghapusan
hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita maka juga tidak ada perbedaan
pendapat bahwa hukum itu bukanlah syariat bagi kita berdasarkan dalil yang
menghapuskan darinya. Misalnya sesuatu yang terdapat pada syariat Nabi Musa AS.
Bahwasanya orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali ia membunuh
dirinya sendiri dan bahwasanya pakaian yang terkena najis maka tidak bisa
dicucikan kecuali memotong bagian yang terkena najis itu. Dan beberapa hukum
lainnya yang merupakan beban yang dipikul oleh umat sebelum kita dan diangkat
Allah dari kita.
B. Pandangan Ulama Tentang Syariat Umat Terdahulu
Telah jelas digambarkan diatas
bahawa syariat terdahulu yang jelas dalilnya baik berupa penetapan atau
penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun yang diperselisishkan adalah
apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal
itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka seperti firman
Allah.
من اجل ذلك كتبنا على بنى اسراّئيل انه من قتل نفسا بغير نفس
اوفساد فىالارض فكأنماقتل الناس جميعا
“Oleh karena itu kami tetapkan suatu hukum bagi bani isroil
bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membnuh
orang lain atau karena berbuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-aka ia telah
membunuh manusia seluruhnya.” (Al-maidah ayat : 32)
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang
Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila
tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat
mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan
kebanyakanpara ulama’.
Jumhur ulama’ Hanafiah, sebagian
ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut juga
disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya
selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum
yang menasakhnya alasannya mereka menganggap bahwa hal itu termasuk daripada
hukum-hukum tuhan yang telah disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan
kepada kita. Tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab
mereka Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah
mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak
memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir, laki-laki atau perempuan
berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT :
النفس بالنفس
“Jiwa
dibalas dengan jiwa”
Sebagian ulama’ mengatakan : bahwa
ia bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan terhadap
berbagai syariat yang terdahulu, kecuali bila ada sesuatu yang menetapkannya
dalam syariat kita. Namun yang benar adalah madzhab yang pertama, karena
syariat kita hanya menghapuskan syariat terdahulu yang bertentangan dengan
syariat kita saja, dan karena al-qur’an telah menceritakan kepada kita hukum
syara’ terdahulu, tanpa disertai dengan nash yang menghapuskan kita, maka ia
mengandung pengertian sebagai penetapan hukum bagi kita. Sebab ia adalah hukum
ilahi yang disampaikan rosul kepada kita dan tidak ada dalil yang menunjukkan
atas pengangkatannya dari kita dan karena al-qur’an adalah membenarkan terhadap
kitab Taurat dan Injil yang ada padanya. Oleh karena itu hukum yang tidak
dihapuskan pada salah satu dari keduanya berarti ditetapkan keduanya
Imam Syaukani mengatakan bahwa yang
lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti
syariat Nabi Ibrahim AS. Ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau
tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah,
Hanabbilah, Ibnu Hajib dan Al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau
komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka
berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti
syariat Nabi sebelumnya.
Al-Qodhy mengatakan bahwa
ulamaMutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW
sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga
mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti
syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan. Akhirnya Allah
mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab
panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya (Umat Islam). Allah juga menjadikan
setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat
dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah
C. Macam Macam Syariat Umat Terdahulu
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak
disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini
jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pembagian kedua ini
diklasifikasi menjadi tiga :
- Dinasakh
syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang
terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
- Dianggap
syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
- Tidak
ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai
syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan
dalil syara’ ini (Syar’u Man Qablana) :
a. Yang diberitakan kepada kita baik
melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan)
oleh syari’at kita
Ada beberapa dalil yang dibuat
tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita
adalah syariat kita :
1) Syariat umat sebelum kita adalah
syariat Allah yang tidak ditegaskan kalau saja telah dinasakh, karena itu kita
dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam
suratal-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123, dan surat al-Syura ayat, 13.
Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca
salah satu ayat al-Quran dalam surat shod (ص) ayat 24.
2) Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu
berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat
maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat ”Kerjakanlah shalat untuk
mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas.
Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut
untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak
dapat memberikan faidah.
3) Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran,
tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam
dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.
Misal:
hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ
بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ
تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Ada empat dalil yang juga dipakai
oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita,
yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin
Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil
ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai
al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban
permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan
bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi
Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib
mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah khusus
bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh
syariat-syaiat terdahulu.
Lantas bagaimana syariat umat islam
terdahulu bisa di pakai untuk umat setelahnya, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
a) Hukum-hukum
dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tanpa melalui sumber-sumber
hukum Islam ( al-Qur’an dan Hadist ). Maka perwalkilan
b) syariat tidak
dipandang syah jika tidak didasarkan pada sumber-sumber tersebut.
c) Sesuatu yang
telah dinasakh berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil apalagi
tertentu berlaku untuk suatu kaum (khusus untuk kaum tertentu).
d) Sesuatu hukum
yang diakui dalam islam sebagaimana halnya diakui dalam agama-agama
samawi terdahulu, sebatas hukumnya adalah berdasarkan dengan nash Islam, bukan
dengan hikayat umat terdahulu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan
penjelasan mengenai
pembahasan di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1.
esensi syariat umat terdahulu, yang mana
kandungannya ada yang mengandung keselasaran dengan apa yang dibawa Nabi kita
Muhammad SAW dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga
yang menyalahi. Syar’u man qablana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu :
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
b.Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
b.Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita
c. Ajaran yang tidak
ditetapkan oleh Syari’at kita
2.
Para Ulama menggunakan
beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat
umat yang terdahulu apakah berlaku juga umtuk umat Nabi Muhammad. Maka pada
dasarnya syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif
atau partikuker yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Artinya
berdasarlkan kesepakatan ulama jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh
ketetapan Allah dan Rosulnya, maka syari’at tersebut wajib untuk diikuti.
B. Saran
Melalui
makalah ini, penulis akan memberikan saran kepada pembaca mengenai pembahasan yang
terkait dengan makalah sebagai berikut :
1.
Selanjutnya melalui makalah ini, saya mangajak
kepada kaum muslimin dan kaum muslimat khususnya para mahasiswa agar meninjau
kembali beberapa fatwa shahabat mengenai kasus-kasus hukum yang belum terdapat
didalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah SAW.
2.
Serta dapat melihat
dengan jelas beberapa perbedaan pendapat ulama tentangkedudukan sumber hukum
islam yang masih diperdebatkan tersebut..
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung : Pustaka Setia, 2010
www.Slideshare.net/Lukmanul/Presentasi-ushul-fiqih-dalil-yang-tidak-disepakati
diakses pada 10/12/2011
Wahab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul
Fiqih, Terj. Zuhri Dan Ahmad Qorib. Semarang : Dina Utama, 1994
www.Sriastuti069.Wordpress.com/2009/17/syar’u-man-qablana.Diaksespada
10/12/2011
Forumkajiansantrisidogiri.blogspot.com/2009/10/syar’u-manqablana-sebagai-dalil-syara’.html.
diakses pada : 10/12/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar